Satusuaraexpress.co – “Kalau saya tidak terkena COVID-19 mungkin saya tidak kenal istilah ini : D-dimer,” kata mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan Disebutkan, saat terkena COVID -19 pada Januari 2021 lalu, hasil pemeriksaan D-dimer di darahnya 2.600. Padahal angka normalnya menurut Dahlan maksimum 500. Dahlan juga menyebutkan seorang pasien COVID-19 di Semarang yang meninggal dunia setelah 10 hari dinyatakan COVID-nya negatif.
Sebelumnya saat almarhum Santoso,kontraktor listrik Rekanan PLN sejak zaman dulu dinyatakan negatif dari COVID -19, D-dimer pasien tersebut di angka 6.000. Namun keesokan harinya, pasien itu sulit bernafas dan harus dimasukkan ke ICU non-COVID-19 hingga dipasangi ventilator. “Setelah diperiksa, D-dimer Santoso ternyata di level 6.000. Santoso tidak pernah lagi keluar dari ICU. Sampai ia meninggal dunia tanggal 1 Januari, tepat di tahun baru 2021, diduga karena koagulopati,” tulis Dahlan Iskan.
Sejumlah laporan telah menemukan kejadian koagulopati pada pasien COVID-19, baik dalam bentuk trombosis arteri maupun vena. Laporan Klok et al pada 184 pasien COVID-19 yang dirawat di ruang intensif (ICU) menemukan bahwa insidensi trombosis sebesar 31%.
Jenis trombosis yang paling umum ditemui adalah tromboemboli vena dengan insidensi 27% dan mayoritas berupa emboli paru. Di samping itu, tidak ditemukan pasien yang memenuhi kriteria disseminated intravascular coagulation (DIC) pada laporan tersebut.
Laporan lainnya oleh Tang et al mengungkapkan bahwa terdapat kelainan parameter koagulasi dan prognosis buruk pada 183 pasien pneumonia COVID-19. Kelainan parameter koagulasi sudah tampak sejak awal masuk rawat inap. Konsentrasi fibrinogen dan aktivitas antitrombin tampaknya berkurang seiring perjalanan penyakit.
Helms et al turut melaporkan bahwa 16,7% (25 dari 150) pasien COVID-19 dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang dirawat di ICU mengalami emboli paru. Pada pasien ARDS yang tidak berhubungan dengan COVID-19, hanya 2,1% yang mengalami emboli paru. Tidak ditemukan kejadian DIC pada pasien COVID-19 dengan ARDS.
Di samping itu, Oxley et al melaporkan kasus COVID-19 dengan komplikasi oklusi pembuluh darah, seperti stroke iskemik pada pasien yang berusia <50 tahun. Dari 5 pasien yang dilaporkan, pasien termuda berusia 33 tahun dengan skor rerata National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) 17. Pada laporan awal di Wuhan, ditemukan bahwa 5% insidensi stroke terjadi pada pasien COVID-19.
Apa itu D-dimer?
Dikutip dari Labtestsonline, D-dimer adalah salah satu fragmen protein yang diproduksi ketika gumpalan darah larut di dalam tubuh. Pembekuan darah adalah proses penting yang mencegah seseorang kehilangan terlalu banyak darah saat cedera. Biasanya, tubuh akan melarutkan gumpalan setelah cedera sembuh. Dengan gangguan pembekuan darah, gumpalan bisa terbentuk saat tidak mengalami cedera yang jelas atau tidak larut saat seharusnya. Kondisi ini bisa sangat serius dan bahkan mengancam jiwa.
Tes D-dimer dapat menunjukkan jika seseorang memiliki salah satu dari kondisi ini. Pembekuan darah menjadi salah satu yang menyebabkan beberapa orang dengan COVID-19 mengalami sakit berat. Hal ini diungkapkan oleh tim peneliti yang menulis di Jurnal Radiology. Melansir Medical News Today, meskipun belum diketahui secara pasti bagaimana virus SARS-CoV-2 menyebabkan kematian, laporan klinis menunjukkan bahwa orang dengan COVID-19 berat mengakibatkan pnemonia, sindrom gangguan pernapasan akut ( acute respirator distress syndrome ) dan kegagalan banyak organ.
Faktor usia dan penyakit komorbid yang mendasari, menjadi faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena COVID-19 berat. Dalam kumpulan artikel yang diterbitkan dalam jurnal Radiology, para ahli menyoroti sebagian besar dari penderita COVID -19 berat menunjukkan tanda-tanda pembekuan darah yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam nyawa.
Pembekuan darah merupakan mekanisme alami sebagai respons tubuh terhadap cedera. Tapi, saat gumpalan terbentuk dalam pembuluh darah, ini dapat membatasi aliran darah. Kejadian tersebut dikenal sebagai trombus, yang dapat menyebabkan keadaan darurat medis yang parah. Apabila trombus terlepas dan menyebar ke bagian tubuh lain, disebut sebagai embolus. Emboli yang mencapai paru-paru, otak, atau jantung, dapat mengancam jiwa. Trombus dan emboli menjadi masalah pada orang dengan COVID -19, karena virus corona dapat menginfeksi sel di paru-paru. Dalam kasus yang berat, ini dapat menyebabkan peradangan di paru-paru dan sesak napas.
“Dari analisis semua data medis, laboratorium, dan pencitraan yang tersedia saat ini tentang COVID-19, menjadi jelas bahwa gejala klinis dan tes diagnostik tidak dapat dijelaskan hanya dengan gangguan ventilasi paru,” ujar Profesor Edwin van Beek dari Queens Medical Research Institute di Universitas Edinburgh di Inggris. Lebih lanjut, disebutkan bahwa infeksi virus dapat mengaktifkan jalur pembekuan darah. Para ahli percaya, proses ini berkembang sebagai mekanisme untuk membatasi penyebaran infeksi virus.
Mengukur kadar D-dimer
Dalam penelitian pembekuan darah pada seseorang, para tenaga kesehatan sering mengukur jumlah kompleks protein, yang disebut D-dimer, dalam darah. Melansir Healthline, tes darah D-dimer membantu mendiagnosis adanya emboli paru. Adapun kadar D-dimer yang tinggi dalam darah menjadi indikasi trombosis dan emboli. “Ada hubungan yang kuat antara tingkat D-dimer, perkembangan penyakit, dan fitur CT dada yang menunjukkan trombosis vena,” ujar van Beek.
Hasil D-dimer
Jika hasil tes darah D-dimer berada pada kisaran normal < 500 atau negatif dan seseorang tidak memiliki banyak faktor risiko, kemungkinannya tidak mengalami emboli paru. Namun, jika hasil D-dimer menunjukkan angka yang tinggi atau positif, ini menandakan adanya pembentukan gumpalan yang signifikan dan degradasi yang terjadi di tubuh. Hasil D-dimer positif tidak menunjukkan lokasi keberadaan gumpalan di tubuh. Sehingga, diperlukan tes lebih lanjut untuk mendapatkan informasi tersebut.
Hubungan antara SARS-CoV-2 dan Risiko Trombosis
Sejumlah laporan telah menemukan bahwa entry SARS-CoV-2 berikatan pada sel inang via reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2R). Laporan Hamming et al menemukan terdapat densitas tinggi ekspresi ACE2R pada sel endotelial pembuluh darah arteri dan vena, mulai dari diameter kecil hingga besar di semua jaringan tubuh manusia.
Bahkan, mereka menemukan ekspresi ACE2R pada sel otot polos arteri di sejumlah organ, terutama di otak. Laporan lain dari Chen et al mengidentifikasi ekspresi tinggi ACE2R pada perisit, kardiomiosit, sel endotel, makrofag, fibroblas, dan sel otot polos.
Hasil temuan tersebut mengindikasikan bahwa infeksi SARS-CoV-2 dapat berhubungan langsung dengan kejadian trombosis.
Selain dari keterlibatan ACE2R, ada sejumlah mekanisme lain yang bisa menjelaskan hubungan antara COVID-19 dan koagulopati, yakni abnormalitas pada sel perisit, endotelitis, hiperinflamasi, peran trombosit, neutrophil extracellular trap (NET),circulating cell-free asam nukleat virus dan faktor von Willebrand
Selain itu, terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan hasil D-dimer tinggi, termasuk: Operasi atau trauma Serangan jantung Infeksi Penyakit hati Kehamilan Bukti emboli paru
Sebuah penelitian yang ditulis tim dari Centre Hospitalier Universitaire de Besancon di Perancis melaporkan, sebanyak 23 dari 100 pasien di rumah sakit dengan Covid-19 parah memiliki tanda-tanda emboli paru, yaitu gumpalan darah yang telah menyebar ke paru-paru. Pasien-pasien ini lebih mungkin berada di unit perawatan kritis dan memerlukan ventilasi mekanis, dibandingkan orang yang tidak memiliki emboli paru.
Penemuan ini didukung oleh studi yang dilakukan tim peneliti lain dari Hopitaux Universitaires de Strasbourg di Perancis.
Diungkapkan, sebanyak 30 persen dari 106 pasien di rumah sakit dengan COVID -19 berat menunjukkan tanda-tanda pembekuan darah di paru-parunya. “Tingkat (emboli paru) ini lebih tinggi daripada yang biasanya ditemui pada pasien sakit kritis tanpa infeksi COVID -19 (sebesar 1,3 persen) atau pada pasien gawat darurat (3–10 persen),” ujar peneliti tersebut.
Tim Strasbourg juga menemukan, orang-orang tersebut juga memiliki tingkat D-dimer yang lebih tinggi dalam darahnya dibandingkan orang yang tidak memiliki emboli paru. Prof. van Beek menjelaskan, sudah ada bukti adanya hubungan antara tingkat D-dimer yang tinggi dan hasil yang buruk untuk pasien dengan COVID-19. Berdasarkan analisis yang dilakukan, para peneliti merekomendasikan untuk mengukur kadar D-dimer, memantau tanda-tanda emboli atau trombosis, dan inisiasi awal terapi antikoagulasi untuk menghindari pembekuan darah.
International Society on Thrombosis and Haemostasis telah menerbitkan pedoman interim terhadap pengenalan dan penatalaksanaan koagulopati COVID-19. Pedoman tersebut menyorot sejumlah faktor penting yang meliputi peningkatan kadar D-dimer dan hubungannya dengan prognosis buruk, trombositopenia, dan bahaya late onsetDIC. Pemberian low molecular weight heparin (LMWH) dianjurkan diberikan sebagai profilaksis kondisi tersebut.
British Society of Hematology (BSH) menyarankan penggunaan skor DIC dariInternational Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) sebagai faktor prognostik pada pasien COVID-19 dalam memandu penatalaksanaan profilaksis. BSH turut menyarankan penggunaan unfractionated heparin atau low-molecular-weight heparin(LMWH) dengan dosis profilaksis.[8,26]
American Society of Hematology merekomendasikan tromboprofilaksis dengan LMWH atau fondaparinux kecuali risiko perdarahan lebih besar daripada risiko trombosis. Untuk pasien dengan kontraindikasi antikoagulasi, direkomendasikan penggunaan alat kompresi pneumatik.[8,27]
American College of Cardiology merekomendasikan profilaksis antikoagulan pada pasien COVID-19 yang membutuhkan perawatan di ICU. Rekomendasi yang sama ditujukan pada mereka yang menderita pneumonia; mengalami gagal napas; atau memiliki faktor komorbid, seperti imobilitas berkepanjangan, kanker, gagal jantung, dan kehamilan.
Profilaksis dapat diperpanjang sampai rawat jalan bagi pasien yang berisiko tinggi mengalami trombosis, seperti pasien dengan mobilitas yang terbatas, kanker aktif, dan kadar D-dimer yang masih tinggi saat dipulangkan.[8,28]
Sejumlah organisasi medis nasional di Cina telah menekankan pentingnya tromboprofilaksis dan pemantauan cermat terhadap komplikasi trombosis pada pasien COVID-19.[29]
Saat ini, masih berlangsung beberapa percobaan klinis antikoagulasi pada pasien COVID-19. Mayoritas dari studi tersebut didesain untuk membandingkan dosis profilaksis tradisional LMWH dan dosis yang lebih tinggi atau dosis terapi terhadap luaran prognosis pasien COVID-19.[8]
Kesimpulan :
Laporan klinis telah menyajikan data bahwa koagulopati dapat terjadi pada pasien COVID-19 dan berpengaruh terhadap prognosisnya, terutama pada pasien dengan gejala yang berat, seperti pasien dengan ARDS yang membutuhkan perawatan di ruang intensif (ICU). Karenanya perlu dilakukan pemeriksaan laborarorium D-dimer pada pasien COVID-19
Walaupun patofisiologi koagulopati masih belum dapat dipahami dengan jelas, pedoman interim dari sejumlah organisasi medis internasional menyarankan untuk memberi terapi profilaksis VTE (venous thromboembolism) pada pasien COVID-19 yang membutuhkan rawat inap, terutama mereka yang dirawat di ICU dengan risiko tinggi trombosis.
Meskipun demikian, pemberian profilaksis VTE tetap harus mempertimbangkan risiko perdarahan.
Penulis : Dr.Mulyadi Tedjapranata
Editor : Wawan