Vaksin Sinovac, Mengapa Efikasinya di Indonesia lebih Rendah daripada yang di Turki atau Brazil ?

057381900 1467173297 Ilustrasi Vaksin Palsu 03

Satusuaraexpress.co – Vaksinasi COVID-19 telah dimulai pada Rabu 13 Januari 2021 dengan penerima perdana Presiden Joko Widodo, bersama sejumlah perwakilan dari bidang kesehatan, perwakilan agama, perwakilan pedagang pasar dan pengusaha, perwakikan buruh, guru, serta tenaga kesehatan  telah melakukan vaksinasi Corona vac di Istana Merdeka Jakarta

Konsultan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, Elizabeth Jane Soepandi, mengatakan, kepercayaan publik dan berbagai pihak kepada jajaran kesehatan diperlukan demi keberhasilan vaksinasi.  Pakar farmakologi dan farmasi klinis Universitas Gajah Mada, Zullies Ikawati, menyatakan infrastruktur yang mendukung distribusi dan penimpanan vaksin ( cold chain) , sumber daya vaksinator dan pemantauan terhadap kejadian ikutan pasca vaksinasi harus disiapkan.

Ketua Kelompok Kerja Bidang Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Erlina Burhan menambahkan vaksinasi diberikan untuk melindungi orang yang sehat dari suatu penyakit.

Seperti diketahui Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menyetujuhi penggunaan darurat vaksin COVID-19 Corona Vac buatan Sinovac Biotech, China.

Baca Juga : Penny Lukito : Vaksin Corona Vac dipastikan Aman dengan Kejadian Efek samping Ringan hingga Sedang

Persetujuan itu diberikan berdasarkan analisis uji klinis fase tiga di Bandung dengan efikasi 65,3 persen. Corona Vac pun dinyatakan memenuhi persyaratan dari panduan WHO dalam pemberian persetujuan penggunaan darurat EUA ( emergency use of authorization )

Pengumuman hasil uji klinik (interim report) vaksin Sinovac sekaligus pemberian ijin penggunaan darurat EUA ( Emergency Use Authorization) kepada PT Bio Farma sebagai pengusung vaksin ini di Indonesia, paling tidak sebagian besar pertanyaan telah terjawab mengenai efikasi dan keamanannya.

Corona Vav buatan Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3 persen, dan dari segi keamanan dinyatakan aman. Kekuatiran tentang kejadian antibody- dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik vaksin Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brazil.

Tapi kemudian banyak orang bertanya, mengapa efikasinya di Indonesia lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ?

Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong).

Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25 persen), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena COVID-19, 9.4 persen, maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%.

Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.

Efikasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misal dari tingkat risiko infeksi tempat uji,  karakteristik subyek ujinya, pola kesehatan masyarakat, dll. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.

Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 orang yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya menjadi 78.3 persen.

Uji klinik yang dilakukan di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih rendah.

Jika subyek placebonya berisiko rendah, apalagi taat dengan protokol kesehatan, sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingannya dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah. Dan mungkin juga ada faktor2 lainnya yang berpengaruh terhadap hasil uji kliniknya.

Penurunan kejadian infeksi sebesar 60 persen-an secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang. Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8 juta  yang bisa terinfeksi, maka jika program vaksinasi berhasil hanya ada 3 juta  penduduk yang terinfeksi. Dapat dihitung (0.08 – 0.03)/0.08 x 100% = 62.5%. Jadi ada 5 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah. Mencegah 5 juta kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa ini terlalu optimistik.. yah, hidup harus optimis dan berpikir positif, dengan tetap berupaya dan menyiapkan diri dengan skenario apapun.

Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi, semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi COVID-19 di negara kita. Apalagi jika didukung dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi COVID-19 di Indonesia.

Penulis : Dr. Mulyadi Tedjapranata

Editor : Wawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *