Menjaga Kemanusiaan di Tengah Kedaulatan Hukum: Dilema Non-Refoulement dan Deportasi Pengungsi

IMG 20251007 WA00072
Ramadhan Aris Sunandar. (Istimewa)

FENOMENA pengungsi lintas negara telah menjadi isu global yang menuntut tanggung jawab bersama. Konflik, kekerasan politik, dan pelanggaran hak asasi manusia membuat jutaan orang terpaksa meninggalkan tanah air mereka untuk mencari perlindungan. Indonesia, sebagai negara kepulauan di jalur strategis migrasi Asia Tenggara, tidak luput dari arus ini. Meskipun belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, Indonesia tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan melalui penerapan prinsip non-refoulement, yaitu larangan memulangkan pengungsi ke negara asal jika keselamatan mereka terancam.

Namun, pelaksanaan prinsip tersebut menghadapi tantangan nyata ketika para pengungsi melakukan pelanggaran hukum di wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pejabat imigrasi memiliki kewenangan untuk melakukan deportasi terhadap orang asing yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Di sinilah muncul dilema hukum dan moral: bagaimana menyeimbangkan antara kedaulatan negara dalam menegakkan hukum dengan kewajiban kemanusiaan untuk melindungi pengungsi?

Prinsip non-refoulement merupakan salah satu norma tertinggi dalam hukum internasional (jus cogens), yang berarti tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apa pun. Prinsip ini tidak hanya diatur dalam Konvensi 1951, tetapi juga tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai instrumen HAM lainnya. Indonesia sendiri mengadopsi semangat ini melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Aturan ini menegaskan bahwa pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal apabila terdapat ancaman terhadap keselamatan atau kebebasan mereka.

Sayangnya, Perpres ini belum memiliki kekuatan hukum sekuat undang-undang, sehingga implementasinya sering bergantung pada kebijakan administratif dan koordinasi antar lembaga seperti Kemenkumham (saat ini sudah terpecah menjadi 3 (tiga) Kementerian yaitu KemenKum, KemenHAM, dan KemenImipas), UNHCR, dan IOM. Kondisi ini menimbulkan celah ketika terjadi kasus pelanggaran yang melibatkan pengungsi. Di satu sisi, negara harus menegakkan hukum terhadap setiap pelanggaran. Namun di sisi lain, tindakan deportasi tanpa penilaian risiko (risk assessment) yang tepat dapat menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement.

Kasus deportasi sejumlah pengungsi asal Afghanistan di Medan pada tahun 2021 menjadi contoh nyata dari dilema ini. Beberapa pengungsi ditahan dan dideportasi karena dianggap melanggar ketertiban umum. Namun, UNHCR menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar prinsip non-refoulement karena belum ada jaminan keamanan di negara asal mereka. Peristiwa ini menunjukkan perlunya mekanisme evaluasi risiko dan pedoman hukum yang jelas sebelum tindakan deportasi dilakukan terhadap pengungsi.

Dari perspektif hukum, Pasal 75 UU Keimigrasian memang memberi kewenangan sah kepada pejabat imigrasi untuk melakukan tindakan administratif berupa deportasi. Namun, dalam konteks pengungsi, kewenangan tersebut tidak dapat diterapkan secara mutlak. Negara harus mempertimbangkan asas kemanusiaan dan prinsip perlindungan internasional yang sudah menjadi bagian dari norma hukum universal. Penerapan hukum yang hanya berlandaskan pada aspek kedaulatan tanpa memperhatikan hak asasi manusia dapat berujung pada pelanggaran kewajiban internasional dan mencederai citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai kemanusiaan.

Dalam konteks inilah, harmonisasi antara hukum nasional dan hukum internasional menjadi keharusan. Pemerintah perlu menyusun pedoman teknis deportasi pengungsi yang mengintegrasikan prinsip non-refoulement dengan ketentuan keimigrasian nasional. Pedoman ini dapat menjadi acuan bagi petugas imigrasi dalam mengambil keputusan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara moral.

Selain itu, penting untuk meningkatkan kapasitas pejabat imigrasi melalui pelatihan tentang hukum internasional dan hak asasi manusia. Penegakan hukum yang sensitif terhadap kemanusiaan tidak berarti melemahkan kedaulatan negara, melainkan justru memperkuat legitimasi moral Indonesia di mata dunia. Negara tetap dapat menindak pelanggaran, tetapi harus melakukannya dengan prosedur yang menghormati hak dasar setiap manusia.

Di tengah dinamika global dan arus migrasi yang terus meningkat, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit antara menjaga kedaulatan dan menjunjung kemanusiaan. Namun, keduanya bukanlah hal yang saling meniadakan. Kedaulatan sejati justru terwujud ketika negara mampu menegakkan hukum dengan tetap memelihara martabat manusia. Prinsip non-refoulement adalah cermin dari komitmen itu bahwa bahkan di tengah ancaman, keadilan dan kemanusiaan harus berjalan beriringan.

*) Oleh Ramadhan Aris Sunandar, NIM: 24/551690/PHK/13103, Mahasiswa MIH UGM, Kelas Hukum Keimigrasian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *