Satusuaraexpress.co – Banyak bukti menunjukkan dampak negatif infodemi seperti pengingkaran realitas ancaman virus Covid-19 atau manfaat vaksinasi ditengah pandemi.
Diperkirakan setengah kematian akibat Covid-19 di Amerika di masa awal pandemi seharusnya bisa dicegah jika saja intervensi non medis yakni tetap tinggal dirumah ( stay home), menjaga jarak ( physical distancing) memakai masker dilaksanakan masyarakat satu pekan sebelumnya.
Ini disampaikan Leonardo Bursztyn dari Universitas of Chicago dan koleganya, September 2020.
Pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa, baik secara global maupun nasional. Tidak ada satupun aspek kehidupan yang tidak terkena dampak Covid-19 yang menyerang manusia tanpa pandang bulu. Entah kaya ataupun miskin, entah pejabat tinggi, menteri, presiden atau rakyat jelata, bahkan tenaga kesehatan dokter, profesor , semuanya terpapar wabah Covid-19 .
Gunther Eysenbach memperkenalkan kata infodemi ( infodemic) pertama kali pada 2002 yang kemudian diadopsi WHO. Bahkan Sekjen PBB Antonio Guterres, 14 April 2020, menyatakan pentingnya memerangi infodemi dengan fakta- fakta dan bukti nyata bukan hoax. PBB mengkawatirkan wabah informasi terkait dengan kesehatan yang bahayanya bersaing dengan virus corona.
Sayangnya Twitter belakangan ini menerbitkan aturan yang diantaranya tidak mengizinkan organisasi sains dan penerbit jurnal ilmiah menyiarkan kontenya di Twitter karena dianggap sebagai konten tak layak ( _inappropriate content_). Ini sebuah salah kelola terhadap infodemi di medsos. Sehingga informasi tentang telah tersedianya vaksin tidak dapat disampaikan,” tulis Eysenbach di _Journal of Medical Internet Research_, Juni 2020.
Kekhawatiran Eysenbach sangat beralasan Ditengah guncangan ini timbul berbagai pendapat masyarakat yang mempertanyakan apakah pandemi Covid-19 ini merupakan suatu konspirasi global? Salah satunya adalah timbulnya infodemi , yaitu merebaknya secara mendadak dan masif berbagai informasi dan isu tentang pandemi Covid-19 melalui medsos, surat kabar dll. Informasi yang tumpah ruah dari beragam sumber, tak jarang bertentangan antara satu dengan lainnya. Akibatnya masyarakat bingung, sulit memilah antara informasi yang kredibel dan hoax.
Sebuah studi Cornell University yang dimuat di _New York Times_ , September 2020, menyebut adanya 38 juta artikel di dunia yang menunjukkan Presiden Trump adalah sumber terbesar munculnya misinformasi global. Infodemia dari infodemiology atau the epidemiology of misinformation di American Journal of Medicine (2020) adalah sebuah disiplin riset baru dan metodologi untuk mengidentifikasi area-area tempat adanya kesenjangan (gap) pada knowledge translation, yakni celah antara bukti- bukti ilmiah terbaik yang diketahui para ahli dari hasil risetnya dan praktik tenaga kesehatan di lapangan.
Ada tiga jenis istilah terkait ‘penyakit informasi’ ( information disorder) ini. Pertama, misinformasi. Ia punya pasangan yang dinamakan disinformasi. Keduanya sama- sama mengandung informasi yang tak benar, ( false atau fake) tetapi bedanya misinformasi disebarkan orang yang meyakini bahwa itu benar , sedangkan aktor penyebar disinformasi tahu bahwa info itu palsu tetapi sengaja menyebarkannya. Itu sebabnya disinformasi dinamakan “deliberate lie to mislead”
WHO menyatakan perang saat ini bukan hanya melawan Covid-19, melainkan juga tsunami informasi atau infodemik hoax.
Sejak kemunculannya virus corona SARS-CoV-2 pertama kali di dunia, para ahli sudah berlomba, adu cepat untuk menemukan obat, bahkan vaksin sebagai sarana ampuh untuk memutus mata rantai penularan ini. Pemanfaatan vaksin sebagai upaya agar tak tertular penyakit terentang lebih dari satu abad. Ratusan tahun sebelumnya vaksinasi sederhana telah dilakukan.
Cara menorehkan virus cacar sapi ke lengan anak laki- laki berusia 13 tahun, James Phipps telah dilakukan Edward Jenner di Inggris tahun 1796. Immunisasi cacar yang dilakukan sejak abad ke18 dan diperluas cakupannya oleh WHO membawa kemenangan manusia dalam membasmi cacar dari muka bumi pada 1979. Vaksin corona menjadi vaksin tercepat yang ditemukan dalam sejarah. Dimulai dari dibagikannya urutan kode genetik SARS-CoV-2 oleh China awal Januari 2020, kelompok peneliti di seluruh dunia menumbuhkan virus dan mempelajari bagaimana virus itu menyerang sel manusia. Vaksin akan meningkatkan kekebalan tubuh,sehibgga bisa melindungi tubuh dari penyakit.
Infodemia anti vaksin
Ketika vaksin Covid-19 sudah tersedia dan akan dilakukan vaksinasi, muncullah aksi-aksi penolakan vaksinasi di masyarakat. Motivasinya macam – macam; belum aman , belum selesai uji klinis fase 3, tidak halal, bahkan ada konspirasi dimasuki _micro chip_ dalam vaksin itu, vaksinasi melanggar hak asasi manusia dan sebagainya.
Kelompok anti vaksin itu bukanlah gerakan baru karena sudah ada sejak abad ke 18 ketika diketemukan vaksin cacar, lalu ada reaksi anti vaksin cacar. Mereka dikenal dengan nama Anti Vaksin atau Anti- Vaxxer . Bahkan mereka mendirikan organisasi Liga Anti Vaksin. Mereka memandang bahwa vaksin sebagai sesuatu yang berbahaya dan harus ditentang sehingga mereka nembuat propaganda dan gerakan menentang vaksinasi.
Di Indonesia anti vaksin juga disuarakan baik oleh masyarakat umum maupun beberapa kalangan terpelajar bahkan beberapa waktu yang lalu disuarakan oleh anggota DPR RI. Masyarakat umum menentang vaksinasi karena khawatir akan keamanan vaksin, sementara kaum terpelajar menentang oleh karena dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam situasi normal, vaksinasi itu adalah hak otonomi setiap individu. Pemberian vaksin ( vaksinasi) itu setara dengan penberian obat pada orang sakit. Itu adalah hak otonomi setiap orang untuk menentukan sendiri apakah mau menerima atau tidak
Untuk itulah dibutuhkan informed consent ketika pasien setuju di vaksinasi atau informed refusal kalau pasien menolak. Baik vaksinasi maupun pengobatan itu 100 persen hak otonomi pasien.
Hak otonomi manusia menyatakan bahwa manusia berhak untuk mengatur dirinya sendiri. Pasien yang sakit tidak diwajibkan berobat ke dokter atau ke rumah sakit. Demikian juga vaksinasi juga tidak bisa diwajibkan karena kalau tidak di vaksin, yang bakal terkena dan mengalami penderitaan juga dirinya sendiri. Kalau orang dengan tahu, mau dan sadar mau menanggung risiko tidak di vaksin, itu adakah hak dia dan orang lain tidak berhak untuk mencampuri
Bagaimana aspek etis vaksinasi di masa pandemi ?
Vaksinasi Covid-19 di masa pandemi sedikit berbeda pendekatan etisnya. Corona virus penyebab Covid-19 adalah virus yang mudah tersebar melalui droplet infeksi dengan kasus kematian yang tinggi. Hampir semua negara terpapar Covid-19. Penyebarannya sangat cepat dan menimbulkan dampak dibidang ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik, dan keagamaan. Dalam keadaan seperti itu ancaman Covid-19 tidak lagi berupa ancaman pribadi, tetapi sudah menjadi ancaman masa. Yang dibahayakan tidak lagi individu tetapi masyarakat umum. Kalau orang tidak di vaksin berarti akan menbahayakan dan ancaman kematian bagi masyarakat.
Oleh karena itu wajar bahwa vaksinasi tidak lagi menjadi hak otonomi setiap individu tetapi sudah menjadi kewajiban umum masyarakat. Mengapa? Sebab tidak ada seorangpun yang boleh dan berhak membahayakan hidup orang lain terpapar pada bahaya penyakit dan kematian.
Penghormatan terhadap otonomi ( respect for autonomy) kalah dibandingkan dengan penghormatan terhadap hidup manusia ( respect for life) karena hidup manusia menjadi dasar dari adanya hak untuk dihormati otonominya.
Adanya otonomi mengandaikan adanya hidup, maka hidup menjadi lebih fundamental dan tidak boleh dikorbankan demi otonomi.
Mengenai alasan penolakan vaksinasi karena secara ilmiah belum terbukti aman dari segi etis tidak bisa dipertahankan. Pada 2005 UNESCO mengeluarkan dokumen Universal Declaration on Bioethics and Human Rights. Pada Pasal 3 2 dikatakan.” Kepentingan dan Kesejahteraan Individu manusia harus lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan ilmu pengetahuan dan masyarakat”
Di satu pihak sangat dimengerti pentingnya riset Iptek demi perkembangan peradaban bangsa manusia, tetapi di lain pihak riset itu tidak boleh mengurbankan mausia, sekalipun riset tersebut sangat bermanfaat untuk manusia dan iptek itu sendiri. Hidup manusia harus lebih diutamakan dari pada riset.
Kalau saat ini yang tersedia hanyalah vaksin yang secara ilmiah ( melalui riset) belum terbukti 100 persen keamanannya, demi perlindungan kesejahteraan dan hidup manusia, vaksin seperti itu sah untuk dipergunakan.
Hidup dan kesejahteraan manusia harus lebih diutamakan dari pada riset itu sendiri karena riset adalah demi kesejahteraan serta hidup manusia.
Kecuali kalau ada indikasi medis yang kontra terhadap vaksinasi bagi seseorang, vaksinasi Covid-19 tersebut mandatori dan bahkan kewajiban bagi warga negara
Tetap semangat dan jangan pernah menyerah.
Dr. Mulyadi Tedjapranata.
Jakarta 23 Juni 2021.