Galeri  

[OPINI] Kecemasan, Komersialisasi Pendidikan, dan Relevansi Taman Siswa

IMG 20210319 155737
Gedung Viktor Universitas Pamulang (Foto: website/unpam.ac.id)

Penulis: Andi Hidayat, Mahasiswa Universitas Pamulang

Menelisik cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1946 yang tegas mengatakan bahwa, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, (…)” Cita-cita tersebut termaktub dalam UUD 1945 di alenia ke-4.

Tentu bukan keputusan yang sederhana hingga munculnya cita-cita tersebut. Para pendiri menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki mayoritas penduduk yang majemuk, tetapi bukan kemajemukan tersebut yang mampu memecah belah kehidupan bernegara, melainkan pikiran dari manusia yang hidup dalam kemajemukan. Jika kemajemukan masyarakat tersebut menjadi sebuah ancaman, atau mereka yang berada dalam lingkup pulau berbeda dianggap sebagai the other maka akan mengancam keutuhan bangsa serta menumbuhkan pemikiran-pemikiran separatis. Untuk menghindari kekacauan semacam itu, maka dibentuklah cita-cita yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan instrumen penting yaitu pendidikan.

Di sisi lain, pemerintah dinilai abai dari cita-cita yang diusung oleh pendiri bangsa, sebab pendidikan yang tidak merata dan sosialisasi pentingnya pendidikan yang kurang digalakkan. Pada tahun 2019 Global Talent Compatitivennes Index (GTCI) mencatat peringkat negara-negara ASEAN berdasarkan sumber daya manusia sebagai daya saing. Indonesia sendiri menempati posisi ke enam dengan skor 38.62, sementara peringkat pertama ditempati Singapura dengan skor 77.27, disusul Malaysia 58.62 diposisi kedua.

Selain data tersebut, Education Index yang dirilis oleh Human Development Reports pada 2017 lalu, menempatkan Indonesia posisi ketujuh negara ASEAN dengan skor 0,622. Posisi pertama diduduki Singapura dengan poin 0,832. Malaysia dengan poin 0,719 diposisi kedua, dan Brunei Darussalam diposisi ketiga dengan poin 0,704. Data tersebut menggambarkan betapa tertinggalnya Indonesia dengan negara ASEAN lainnya.

Sementara itu, kemiskinan merupakan hal yang sangat memengaruhi proses pendidikan. Badan Pusat Statistik pada Maret 2020 lalu mencatat sedikitnya 26.42 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan, pulau Jawa menjadi mayoritas penduduk termiskin dengan angka 14,05 juta orang. Biaya pendidikan yang tinggi, menjadi faktor utama yang memengaruhi rendahnya pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan sistem wajib belajar 12 tahun yang rasanya tidak begitu efektif.

Masyarakat yang hidup digaris kemiskinan masih kelimpungan dengan dana yang mesti dikeluarkan untuk menyekolahkan anaknya, sekalipun pendidikan gratis, namun sejauh mana gratis itu merangkul semua elemen masyarakat? Kriteria penerimaan siswa, seleksi masuk, jalur zonasi, menjadi hal rumit yang mesti diupayakan keluarga miskin yang sama sekali tidak mengerti alurnya. Belum lagi ditambah dengan sistem kapital yang hidup dalam sendi-sendi pendidikan. Hal senada juga bisa ditemukan di tingkat perguruan tinggi. Biaya yang tidak menjangkau seluruh elemen masyarakat mendukung statement, “orang miskin dilarang pintar!”

Belum lama ini, Universitas Pamulang dilaporkan Asosiasi Perguruan Tinggi Indonesia (APTISI) Wilayah VI-B/Banten terkait keberatannya para pengelola PTN/PTS terhadap keberadaan Universitas Pamulang di Serang, Banten. Laporan keberatan tersebut disebabkan karena biaya pendidikan yang dikenakan Universitas Pamulang bagi mahasiswanya sebesar 900.000 persemester, atau dicicil 150.000 perbulan.

Para pengelola khawatir dengan keberadaan Universitas Pamulang akan menggangu ekosistem perguruan tinggi di wilayah tersebut. Dengan isu demikian, bagaimana kiranya cita-cita yang dirumuskan pendiri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Sedang pendidikan dinilai sebagai komoditas ditengah perekonomian masyarakatnya yang macet.

Meninjau Biaya Perguruan Tinggi Swasta di Kota Serang dan Komersialisasi Pendidikan

Dari data yang didapat mengenai PTS populer di kota Serang, sedikitnya terdapat 3 universitas, Universitas Bina Bangsa, Universitas Banten Jaya, dan Universitas Serang Raya. Ketiga PTS dengan tingkat popularitas yang bisa dibilang cukup besar. Namun, bagaimana dengan biaya persemesternya? Dari laman resmi universitas tersebut, Universitas Bina Bangsa, sedikitnya merogoh kocek 3.250.000-3.550.000 persemester, Universitas Banten Jaya 3.700.000-4.475.000 di semester awal, 3.800.000-4.160.000 di semester 2 dan seterusnya, dan Universitas Serang Raya 3.450.000-7.382.500 di semester awal, 2.675.000-6.095.000 di semester 3 dan seterusnya.

Barangkali angka tersebut akan terus bertambah tiap tahunnya. Biaya yang terbilang mahal, sementara Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 mencatat sekitar 134.60 ribu penduduk miskin dari total 775.99 penduduk di Provinsi Banten, belum ditambah dengan penduduk yang hidup berada di atas garis kemiskinan dengan pendapatan UMK daerah yang hanya mencukupi kehidupan bulanan.

Sementara itu, IMF dan World Bank menetapkan kebijakan dengan tujuan menyokong pendidikan tinggi di negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia. Sebagai anggota WTO, Indonesia wajib menandatangi General Agreement on Trade Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan jasa yang diantaranya, kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa lainnya. Jika demikian, perguruan tinggi resmi menjadi salah satu komoditas jasa, artinya perguruan tinggi perlu menghidupi dirinya sendiri melalui pemaksimalan pembukaan program studi.

Hal yang tersebut berfungsi sebagai sumber masuknya profit untuk mengelola perguruan tinggi. Dengan demikian resmi sudah dinamakan dengan komersialisasi pendidikan tinggi dengan menjadikan pendidikan sebagai sebuah perusahaan yang murni untuk mencari keuntungan.

Maka akan sah-sah saja jika media yang memberitakan statemen Syafruddin, selaku Wali Kota Serang, yang tidak ingin mengorbankan puluhan PTS gulung tikar karena kehadiran Universitas Pamulang. Tepat kiranya menggunakan istilah Gulung tikar untuk menggambarkan perusahaan yang mengalami kebangkrutan.

Menengok Sejarah Taman Siswa dan Relevansi Saat ini

Mengingat bahwa pendidikan Indonesia berakar dari gagasan progresif, Ki Hadjar Dewantara yang banyak diamini mayoritas penduduk sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, melalui Taman Siswa yang merangkul seluruh elemen masyarakat. Menyediakan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, yang di mana pada saat itu, pendidikan hanya ditujukan bagi mereka yang mampu-fenomena yang sama hingga saat ini.

Taman Siswa berdiri pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, menerapkan prinsip nasionalisme dan kemerdekaan yang bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah Belanda. Tidak hanya itu, Ki Hadjar Dewantara juga memberikan pendidikan kepada perempuan dengan tujuan melepaskan mereka dari sistem patriarki, bahkan ia rela menghilangkan gelar “Raden Mas” dari namanya yang bersumber dari pendidikan yang feodalistik.

Melihat dari fungsi berdirinya Taman Siswa, kiranya relevan pula dengan berdirinya Universitas Pamulang. Meskipun tetap dikenakan biaya, setidaknya Universitas Pamulang menjadi alternatif masyarakat yang ingin melanjutkan studi mereka, mengasah pemikiran, dan membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau.

Tercatat sedikitnya 80.000 mahasiswa aktif pada tahun 2021, angka besar yang mampu menyaingi PTS/PTN dengan gengsi yang tinggi. Ketua Yayasan, H. Darsono mengatakan bahwa, biaya murah tersebut dikenakan bagi mahasiswa agar masyarakat dengan penghasilan rendah memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Sementara itu, mutu Universitas Pamulang tetap terjaga dan menunjukkan kemajuan yang terlihat dari capaian data yang dihimpun oleh laman Unirank, Universitas Pamulang menduduki peringkat 55 sebagai universitas terbaik di Indonesia.

Melihat kembali konteks cita-cita bangsa Indonesia, kira jauh dari kata tercapai, bahkan mendekati saja tidak. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang memprogram seluruh elemen masyarakat sebagai kekuatan membangun negara. Sumber daya manusia termasuk kedalamnya, dan tentu mengolah sumberdaya manusia berkualitas membutuhkan jenjang pendidikan.

Maka sudah seharusnya pemerintah memberikan fasilitas untuk memudahkan masyarakatnya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bukan malah mempertimbangkan aduan dari pihak yang rasanya memiliki kepentingan lain.

Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia menyelenggarakan pendidikan gratis di semua jenjang, sebab pada hakikatnya pendidikan adalah investasi pembangunan negara yang maju dengan sumber daya manusia yang berkualitas, handal, dan berintegritas.

Sumber:

Badan Pusat Statistik. 2020. Presentase Penduduk Miskin Maret 2020 Naik Menjadi 9.78 Persen.

https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentase-penduduk-miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html
Badan Pusat Statistik. 2020. Presentase Penduduk Miskin Banten Maret 2020 Naik Menjadi 5.92 Persen.

https://banten.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/543/persentase-penduduk-miskin-banten-maret-2020-naik-menjadi-5-92-persen.html
Ben K. C. Laksana. 2020. Pendidikan, Pembangunan, dan Kesadaran Kritis. Sikula. id.

http://sikula.id/post/pendidikan-pembangunan-kesadaran-kritis
Daya Sudrajat. 2015. Mahalnya Biaya Kuliah Sebagai Konsekuensi Kebijakan Neoliberalisme: Studi Kasus Universitas Indonesia. Indoprogress.

https://indoprogress.com/2015/03/mahalnya-biaya-kuliah-sebagai-konsekuensi-kebijakan-neoliberalisme-studi-kasus-universitas-indonesia/
Prof. Dr. Sofian Effendi Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan, diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 2 Mei 2005.
Scholastika Gerenitya. 2019. Indeks Pendidikan Indonesia Rendah, Daya Sain pun Lemah. Tirto.id.

https://tirto.id/indeks-pendidikan-indonesia-rendah-daya-saing-pun-lemah-dnvR
Supardi. Arah Pendidikan Indonesia Dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi. Jurnal Formatif. Universitas Indraprasta PGRI.
Unirank. 2021. Top University in Indonesia. 4.icu.org. https://www.4icu.org/id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *