Oleh: Dr. Mulyadi Tedjapranata|Editor: Ghugus Santri
satusuaraexpress.co — Sejak corona virus mewabah dari Wuhan China akhir tahun 2019, terus meluas hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai pandemi global COVID-19.
Sudah sebelas bulan pandemi COVID-19 berlangsung, jumlah orang yang terinfeksi di dunia menurut laman Worldometers sampai hari ini (13/11/2020) telah mencapai angka diatas 53.003.790 kasus positif COVID-19.
Sedangkan yang telah sembuh 36.922.736 orang, dan 1.297.476 orang dinyatakan meninggal. Di Indonesia hari ini bertambah 5.444 kasus positif COVID-19, sehingga total mencapai 475.735 kssus positif, 385.094 orang dinyatakan sembuh dan 15.037 orang meninggal karena COVID-19.
Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan sejumlah negara kembali memberlakukan lockdown sebagai upaya memutus rantai penularan virus corona SARS-CoV-2.
Berbagai strategi dan kebijakan telah dilakukan, sejumlah ilmuwan dan pakar kesehatan, epidemiolog, klinisi menilai upaya itu masih terbatas untuk menghentikan laju penularan yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2.
“Semua intervensi kita berfokus pada memotong jalur penularan virus corona untuk mengendalikan penyebaran patogen,” kata Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet, seperti dikutib BBC, 12 November 2020.
Melihat perkembangan COVID-19 saat ini, Richard Horton menilai semestinya COVID-19 bukan dianggap sebagai pandemi, melainkan sebagai ‘sindemi’
Sindemi adalah akronim yang berasal dari kata sinergi dan pandemi. Artinya, penyakit seperti COVID-19 merupakan penyakit yang tidak berdiri sendiri. Di mana ada virus SARS-CoV-2, yaitu virus corona penyebab COVID-19 dan disisi lain ada serangkaian penyakit yang sudah diidap oleh seseorang. Kedua elemen itu saling beriteraksi dalam konteks ketimpangan sosial yang mendalam.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada awal tahun 2020 menyatakan bahwa dampak pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi juga berdampak pada bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya. Masyarakat terpaksa harus hidup di alam new normal Dialami secara tidak proposional pada kelompok masyarakat yang paling rentan.
Diantaranya masyarakat yang hidup dalam keadaan sosial ekonomi yang rendah (low income people), pekerja miskin, perempuan dan anak- anak, serta penyandang disabilitas dan kelompok marginal lainnya.
Istilah sindemi telah muncul sekitar tahun 1990-an yang diciptakan oleh antropolog medis asal Amerika Serikat, Merill Singer.
Istilah ini timbul untuk menyebut keadaan dimana dua penyakit atau lebih berinteraksi biologis dan sosial sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kerusakkan yang lebih besar ketimbang dampak dari masing- masing penyakit tersebut.
“Dampak dari interaksi itu juga difasilitasi oleh kondisi sosial dan lingkungan yang entah bagaimana dapat menyatukan kedua penyakit atau membuat populasi menjadi lebih rentan terhadap dampaknya,” kata Singer.
Istilah sindemi muncul saat ilmuwan tersebut bersama koleganya meneliti penggunaan narkoba di komunitas berpenghasilan rendah di Amerika Serikat pada lebih dari dua dekade lalu. Singer bersama Emily Mendenhall dan timnya menemukan bahwa banyak dari masyarakat itu yang menggunakan narkoba menderita sejumlah penyakit seperti TBC dan penyakit menular seksual.
Selanjutnya para peneliti mempertanyakan bagaimana penyakit penyakit ini dapat berada di dalam tubuh seseorang. Kesimpulannya, dalam beberapa kasus, kombinasi penyakit memperkuat dampak dan kerusakkan yang dialami orang itu karena daya tahan tubuhnya menurun sehingga tidak mampu mengatasi infeksi.
Singer melihat bagaimana penyakit COVID-19 berinteraksi dengan berbagai kondisi yang sudah ada sebelumnya, Penyakit Tidak Menular seperti, diabetes, kanker, penyakit hipertensi dan penyakit jantung serta banyak faktor lain.
Strategi menghadapi COVID-19
Pengaruh lingkungan sosial ekonomi juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan risiko COVID-19. Komunitas masyarakat miskin, berpenghasilan rendah dan etnis minoritas juga berpengaruh.
Menurut Tiff-Annie Kenny, peneliti di Laval Unicersity di Kanada penyakit seperti diabetes atau obesitas, yang termasuk faktor risiko COVID-19 tersebut lebih sering di alami pada orang- orang berpenghasilan rendah.
Di tengah kondisi wilayah dengan kerawanan pangan, perubahan iklim hingga pengaturan perumahan yang buruk, akan semakin sulit untuk menjalankan protokol kesehatan seperti mencuci tangan dengan sabun di air yanhg mengalir, menjaga jarak sesama (physical distanching) dan memakai masker.
“Ada bukti berkembang bahwa influenza dan flu biasa adalah kontra sindemi. Artinya, situasinya tidak menjadi lebih buruk, jika seseorang terinfeksi kedua virus, salah satu dari penyakit itu tidak berkembang,” kata Kenny
Berdasarkan analisa situasi menggunakan pendekatan sindemi, Tiff-Annie menganggap perlu melakukan pendekatan epidemiologi klasik mengenai risiko penularan COVID-19 dengan pendekatan dalam konteks sosial.
Singer meyakini perubahan strategi diperlukan untuk menghadapi pandemi di masa depan, sebab ancaman ini akan terus ada selama kita masih terus melampaui batas habitat-habitat satwa liar, atau sebaliknya sebagai akibat perubahan iklim yang makin ekstrem. Mendenhall, dari Science, Technology, and International Affairs Program, Edmund A Walsh School of Foreign Service, Georgetown University, menyebut COVID-19 sebagai sindemi global adalah salah kaprah.
Dalam tulisannya di The Lacet pada 22 Oktober yang lalu, ia mengatakan bahwa konsep sindemi penting karena berfokus pada apa yang mendorong penyakit untuk mengelompok dan berinteraksi.
Kehilangan inti dari konsep
Mendenhell mencontohkan, penanganan COVID-19 di Afrika sub Sahara jauh lebih baik dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan India. Beberapa orang berpendapat bahwa ini mencerminkan kerangka berfikir rasis bahwa konteks Afrika harus lebih menderita. Namun banyak pemerintah Afrika bertindak lebih cepat dan percaya diri dari pada negara kaya seperti Amerika Serikat.
Harton mendukung pendapat tersebut. Sebab, seberapa efektif pengobatan atau seberapa protektif vaksin COVID-19 yang tengah dikembangkan, pencarian solusi yang murni biomedis akan gagal mengatasi pandemi COVID-19, kecuali pemerintah merancang kebijakan dan program untuk mengubah kesenjangan mendalam. Pemerintah bersama masyarakat harus solid, sehingga benar- benar aman dari pandemi ini.
Jakarta, 13 November 2020