Satusuaraexpress.co – Dalam beberapa hari di akhir Desember 2020 ini dunia cukup dibuat gempar dengan berita penemuan varian baru virus corona SARS-CoV-2 yang pertama kali dilaporkan di Inggris yang lalu menyebar ke beberapa negara Eropa, Irlandia Utara, Denmark, Belanda, Italia, Perancis. Kini bahkan sudah dilaporkan pula kasus dengan mutasi ini di Singapura, Hongkong, Malaysia, Israel, Gibraltar dan Afrika Selatan,
Melansir berita dari Times of India National Health Service (NHS) pun menyoroti gejala COVID-19 yang sering dialami pasien saat terinfeksi virus corona varian baru ini. Selain gejala umim seperti demam, batuk kering, dan hilangnya indra penciuman (anosmia) dan perasa, ada 7 gejala lain yang dikaitkan dengan varian baru virus corona.
Berikut gejalanya:
- Kelelahan
- Kehilangan selera makan
- Sakit kepala
- Diare
- Kebingungan ( delerium)
- Nyeri otot
- Ruam kulit.
WHO telah mendesak anggotanya di Eropa untuk meningkatkan upaya melawan varian baru virus corona SARS-CoV-2.
Saya mulai menulis tentang mutasi virus COVID-19 pada 19 November 2020 yang waktu itu masih membicarakan mutasi D614G yang sebenarnya sudah bermula sejak Februari 2020. Mutasi D614G yang juga sudah ditemukan di Indonesia ini sejauh ini tidak memberi dampak yang bermakna bagi perjalanan pandemi COVID-19
Menurut laporan resmi dari European Center for Disease Control& Prevention, varian baru yang dari Inggris ini awalnya diberi nama VUI-202012/01. Ini bukan penamaan kode genetik. “VUI” adalah kepanjangan dari “Variant Under Investigation”, “202012” karena ditemukannya pada bulan 12 tahun 2020 dan “/01” karena ini laporan pertama dari jenis mutasi ini. VUI 2020 12/1 banyak ditemukan di Kent, Inggris terutana pada kelompok usia kurang dari 60 tahun. Selain , di Kent, varian tersebut juga ditemukan di Wales yang banyak menginfeksi kelompok usia tertentu dengan median 41 tahun (11-71tahun)
Kejadian ini ditemukan karena pemerintah Inggris mempunyai konsorsium “Covid-19 Genomics UK (COG-UK)”, yang secara berkala memang melakukan sekuensing genetik virus secara random di negara itu.Studi yang berjudul” Preliminary genomic characterisation of emergent SARS-CoV-2 lineage in the UK defined by novel sel of spike mutation” tersebut mengatakan bahwa varian ini muncul akibat adanya perubahan genetik ( mutasi) pada protein Spike yang berfungsi untuk menginfeksi inang. Mutasi pertama terjadi disekuens asam amino yang punya peranan untuk berikatan dengan reseptor di manusia dan mencit.
Mutasi ini diidentifikasi sebagai mutasi yang mampu meningkatkam afinitas ( kemampuan berikatan) dengan reseptor milik inangnya. Dalam kasus COVID-19 ini inangnya adalah manusia dan mencit. Afinitas yang tinggi ini membuat virus lebih mudah masuk ke dalam host atau sel inang sehingga berpeluang besar meningkatkan risiko penularannya.
Laporan awal yang diperoleh dari Inggris menyatakan bahwa varian ini lebih menular daripada virus yang beredar sebelumnya dengan tingkat penularan diperkirakan antara 40 hingga 70 persen.
Perubahan genetik kedua adalah adanya delesi(hilangnya) asam amino pada urutan ke 69 dan 70 pada protein Spike. Mutasi jenis ini disebut mampu membuat virus dapat terhindar dari sistem pertahanan tubuh inang di beberapa kasus.
Mutasi terakhir adalah perubahan asam amino pada daerah di didekat gugus fungsi penting protein SARS-CoV-2.
Jenis varian baru ini dikabarkan juga ditemukan di Belanda, Italia bahkan sampai Australia. Mutasi ini ditandai dengan 17 jenis perubahan atau mutasi. Salah satu yang paling penting adalah mutasi N501Y pada “antenna” (spike) protein, dan antena inilah yang digunakan virus untuk berikatan dengan reseptor ACE2 di tubuh manusia. Jadi, secara teoritis, kalau ada mutasi di antena ini maka mungkin saja virus menjadi lebih mudah menular dan jadi mungkin mempermudah penularan antar manusia. Tetapi sekali lagi, ini teoritisnya, bagaimana kejadian sebenarnya masih dalam penelitian selanjutnya.
Banyak sekali pertanyaan tentang bagaimana dampak mutasi yang bermula di Inggris ini pada penularan, berat ringannya penyakit, keampuhan vaksin dll. Harus diketahui bahwa untuk mengetahui secara pasti apa dampak yang mungkin terjadi maka harus melalui penelitian pada virus hidup di laboratorium yang amat canggih. Proses ini dapat makan waktu beberapa minggu sampai bahkan mungkin beberapa bulan untuk kepastiannya. Dari data awal yang ada sekarang ini dapat disampaikan tiga hal.
Pertama, memang mungkin ada perubahan dalam penyebaran penyakit, artinya lebih mudah menular.
Ke dua, sejauh ini tidak , atau setidaknya belum, ada bukti akan adanya pengaruh terhadap berat ringannya penyakit, respon antibodi dan efektifitas kerja vaksin.
Ke tiga, memang ada bukti awal bahwa mutasi ini mungkin dapat mempengaruhi tehnik diagnosis laboratorium tertentu. Dilaporkan ada satu perubahan yang mungkin mempengaruhi tes laboratorium yang targetnya hanya satu gen saja. Kita tahu bahwa memang ada test PCR yang hanya mendeteksi satu target, walaupun kebanyakan jenis test PCR mengeteksi beberapa gen bersama-sama. Artinya, mutasi pada satu gen di Inggris ini mungkin saja akan mempengaruhi akurasi test PCR yang hanya deteksi satu gen (“a single gene target”), tetapi tidak akan mempengaruhi hasil sebagian besar test PCR yang beredar di dunia sekarang ini yang biasanya tidak hanya mendidentifikasi satu gen saja. WHO masih terus mengikuti perkembangan data yang ada untuk bila perlu mengeluarkan rekomendasi alternatif kalau diperlukan.
Menurut dokumen Public Health Ontario nilai ambang Ct di atas 40 mengindikasikan orang tersebut negatif COVID-19. Pasalnya setidaknya butuh 49 kali siklus amplifikasi materi genetik patogen untuk mendeteksi virus corona SARS-CoV-2 benar benar ada.
Sampai hari ini belum ada laporan komprehensif yang membahas keterkaitan antara varian baru COVID-19 dengan kemungkinan virusnya tidak terdeteksi mengingat tes PCR pun tidak bersifat mutlak dikotomis positif atau negatif. Oleh karena itu WHO merekomendasikan untuk benar benar teliti dalam melakukan tes. Setiap tes harus benar benar divaludasi dan dipertanggungjawabkan.
Masyarakat harus lebih meningkatkan kesadaran untuk melakukan kegiatan sesuai arahan protokol kesehatan 3M memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, sementara dari sisi pemerintah harus terus melaksanakan 3T testing, tracing dan treatmen.
Para akademisi, epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat harus bekerja sama untuk terus melakukan pemantauan.
Jakarta 28 Desember 2020.
Dr. Mulyadi Tedjapranata.
Editor : Wawan