Berita  

Amien Rais Buka Suara Soal Kasus Rempang: Jangan Ada Gusur-gusur batalkan itu!

IMG 20201217 142639
Amien Rais. (Foto: Instagram / @amienrais)

Jakarta, Satusuaraexpress.co – Ketua Majelis Syura Partai Umat Amien Rais angkat bicara soal kasus Rempang di Batam.

Amien Rais prihatin dengan warga di Rempang karena keadaan rumahnya yang kecil-kecil dan hanya mengandalkan profesi nelayan untuk mata pencahariannya.

“Kami tadi sudah hakuli yakin melihat betapa teman-teman kita itu suku Melayu Itu kasihan keadaannya rumahnya kecil kecil bahkan maaf sampai karena mereka Mata pencahariannya sebagai nelayan yang memang kerjaan yang berat, kami lihat itu tangannya sampai hitam hitam gitu.” ujarnya dalam video yang diunggah di media sosial, Kamis (21/9/2023).

Amien Rais pun berpesan kepada Presiden Joko Widodo, seharusnya Jokowi harus memihak dengan kepentingan rakyat.

Menurutnya, konflik ini merupakan kepentingan yang bengis dari para pemilik modal.

“Harapan dengan kepentingan bangsa sendiri ini harus dilindungi dimuliakan. Mereka adalah pemilik sah dari negara yang kita warisi dari nenek moyang kita itu. Jadi pilih lah selalu kepada kepentingan rakyat sendiri.” tuturnya.

“Jadi tolong jangan ada relokasi Jangan ada di hijrah hijrah kan jangan ada di gusur-gusur tetap seperti sediakala batalkan itu secepat mungkin.” sambung Amien Rais.

Sementara itu, Ombudsman menemukan maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.

Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro pada Senin (18/9) dalam keterangan resmi yang dipublikasikan di website Ombudsman RI, Senin (18/9).

Ia menambahkan potensi maladministrasi itu disimpulkan usai lembaganya meminta keterangan kepada kepada pihak yang terdampak, serta pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua dengan merujuk Surat Keputusan Walikota Batam Nomor 105/HK/III/2004 Tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam.

Johan menambahkan terdapat 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Ombudsman memperoleh informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektar. Lahan ini akan dikembangkan sebagai proyek Strategis Nasional 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang.

Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, menurut Johanes hal ini tidak sesuai ketentuan. Pasalnya, lahan belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.

“Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum,” ujar Johanes.

Ombudsman akan menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak terlapor.

Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Untuk itu Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak,” ujar Johanes.

Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.

Kawasan Repang akan dikembangkan menjadi Rempang Eco City. Namun, belakangan ini pengembangan terganjal oleh konflik agraria yang timbul karena masyarakat di sana menolak untuk direlokasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *