Satusuaraexpress.co – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menganggap pemerintah layak mempertimbangkan dimulainya pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen secara bertahap dalam waktu dekat.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim berpendapat bahwa usulan tersebut layak dipertimbangkan apabila positivity rate kasus Covid-19 telah menyentuh 5 persen ke bawah atau kajian epidemiologis lain.
“P2G meminta pemerintah dan pemda memperhitungkan, memetakan perkembangan kasus Covid-19 setidaknya 2 minggu ke depan, sampai awal April, termasuk mengamati tren kasus Covid-19 secara global,” kata Satriwan dikutip dari Kompas.com, Jumat (18/3/2022).
Satriawan mengatakan, sepekan terakhir, positivity rate secara nasional sudah menyentuh 7-8 persen. Fakta ini baik mengingat tinggal sedikit lagi untuk memenuhi rekomendasi WHO.
“Jika positivity rate sudah menyentuh angka 5 persen, P2G mendukung sekolah dibuka PTM 100 persen. Angka positivity rate 5 persen jelas berdasarkan rekomendasi WHO selama ini,” katanya.
Walaupun demikian, bila PTM 100 persen betul-betul dimulai lagi, P2G meminta agar sekolah, guru, orangtua, dan siswa tetap konsisten membiasakan protokol kesehatan.
“Perlu disadari betul, 3M dijadikan adaptasi kebiasaan baru. Ini kunci PTM yang sehat dan aman. Jika tidak, sekolah akan terus PJJ, orang tua dan guru pasti tidak mau,” ujar Satriwan.
Ia juga berharap agar pemerintah dan seluruh unsur terkait mengevaluasi diri dari pelaksanaan PTM 100 persen pada awal 2022, yang menurutnya masih banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan terhadap surat keputusan bersama (SKB) 4 menteri hampir di semua daerah.
Menurut P2G, bentuk pelanggaran paling umum terjadi adalah siswa dan guru tak memakai masker di sekolah, tidak jaga jarak 1 meter di kelas, hingga sekolah ber-AC kelasnya tidak dibuka ventilasinya.
Lalu, kantin beroperasi walaupun dilarang, juga ketiadaan pemeriksaan suhu atau barcode Peduli Lindungi di gerbang.
Sejumlah murid juga terpantau tidak pakai masker sepulang sekolah atau menongkrong tanpa disiplin protokol kesehatan.
“Ikatan emosional guru-siswa, siswa-siswa tidak terbangun selama ini, bahkan masih ada siswa dan guru atau siswa dengan siswa yang belum kenal satu sama lain, kan ironis,” kata Satriwan.