Satusuaraexpress.co | Jakarta – Pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh “sudah busuk” sejak awal, telah memicu gelombang kontroversi dan perdebatan publik. Pengakuan blak-blakan ini disampaikan Luhut di Jakarta baru-baru ini, di tengah sorotan tajam terhadap restrukturisasi utang mega proyek tersebut.
Luhut menegaskan, kondisi proyek—terutama aspek keuangan—sudah bermasalah saat ia mulai menangani Komite Proyek KCJB pada tahun 2021, sebuah tugas yang ia terima langsung dari Presiden Joko Widodo kala itu.
”Saya terima itu barang sudah busuk,” ujar Luhut, merujuk pada kondisi awal keuangan proyek yang mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) signifikan, jauh melampaui estimasi awal US$5,13 miliar.
Audit dan Restrukturisasi Utang sebagai Solusi
Untuk mengatasi kondisi “busuk” tersebut, Luhut mengklaim telah mengambil langkah taktis. Ia segera menginstruksikan audit menyeluruh yang melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan kemudian bernegosiasi ulang dengan pihak Tiongkok, termasuk China Development Bank (CDB) sebagai kreditur utama.
”Kami audit, kami perbaiki, dan berunding dengan China,” katanya, seraya menambahkan bahwa pihak Tiongkok telah menyetujui restrukturisasi utang. Menurutnya, persoalan utama Whoosh saat ini hanya tinggal menanti penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mempercepat proses restrukturisasi utang tersebut, menepis isu bahwa proyek akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sorotan Balik dan Kritik Publik
Meskipun Luhut bersikeras bahwa proyek telah dibenahi dan restrukturisasi utang dapat diselesaikan secara business-to-business (B2B) tanpa APBN, pernyataannya menuai kritik dari berbagai pihak.
Sejumlah pengamat politik dan mantan pejabat menyambut pengakuan ini dengan skeptis, menilai bahwa pernyataan Luhut terkesan sebagai upaya untuk “cuci tangan” dari tanggung jawab, mengingat peran sentralnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang ditunjuk langsung oleh Presiden untuk memimpin komite yang bertugas mengawal proyek ini.
Kritikus berpendapat, jika proyek memang sudah diketahui bermasalah sejak awal, seharusnya langkah tegas seperti penghentian atau evaluasi fundamental dilakukan, bukan malah dilanjutkan dengan risiko kerugian yang terus membebani BUMN, terutama PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai penanggung jawab konsorsium Indonesia.
Kontroversi ini kembali menyoroti pentingnya tata kelola dan transparansi dalam proyek-proyek infrastruktur strategis berskala besar di Indonesia, sekaligus memicu pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab penuh atas segala masalah yang terjadi sejak awal perencanaan KCJB.