Manusia Silver dan Masalah Sosial

IMG 20220129 134525
ANTARA/Nur Aprilliana Br Sitorus Dinas Sosial Kota Medan kembali mengamankan sejumlah manusia silver dalam razia Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PKMS) di wilayah Kota Medan, Sumatera Utara yang digelar pada Jumat (12/6/2020).

Penulis: Nurfataryati
Mahasiswa Universitas Pamulang

Pernah melihat orang yang seluruh tubuhnya dicat menggunakan warna silver? Mereka dapat dijumpai di pinggiran jalan raya, emperan toko, dan perempatan jalan. Tak jarang kita menjumpai mereka di pintu keluar SPBU. Mereka sering juluki manusia silver atau manusia millenium.

Julukan tersebut merujuk pada warna cat yang digunakan. Jumlahnya tidak sedikit. Untuk itu, mereka sangat mudah ditemui. Khususnya di wilayah perkotaan.

Apa itu manusia silver?

Manusia silver adalah sebuah fenomena kondisi sosial di masyarakat. Menjadi manusia silver adalah sebuah pelarian sebagian orang yang tidak memiliki pekerjaan. Ada yang sebagai sambilan untuk menunggu panggilan kerja. Atau juga orang-orang yang terkena dampak PHK akibat pandemi yang terjadi sejak dua tahun lalu.

Mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan memilih menjadi manusia silver untuk sementara agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Artinya, profesi menjadi manusia silver menjadi salah satu alternatif untuk mencari nafkah.

Bagaimana cara mereka menjadi manusia silver?

Mereka hanya cukup membeli cat sablon warna silver, minyak tanah atau minyak goreng dan sabun pencuci piring. Cara meraciknya juga mudah, cukup campurkan cat dengan minyak tanah atau minyak goreng lalu diaduk dan dibalurkan ke seluruh tubuh yang diinginkan.

Minyak tanah yang akan memberikan efek warna cat menjadi lebih terang. Sedangkan minyak goreng akan memberikan efek lebih gelap pada warna cat. Untuk membersikan cat tersebut juga sangat gampang. Tinggal melumuri tubuh dengan sabun pencuci piring lalu dibilas dengan air.

Setelah bersih, bisa mandi seperti biasanya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, para manusia silver yang tadinya hanya sekedar pelarian semata karena menganggur, kini malah menjadi sebuah profesi tetap bagi sebagian orang.

Bahkan mereka memiliki wilayah operasi sendiri setiap harinya. Mereka berjalan dengan tubuh dipenuhi cat berwarna silver dengan membawa kotak atau ember untuk menampung uang yang diberikan oleh orang-orang. Mereka juga memiliki jam operasional untuk beraksi.

Manusia silver awalnya dibuat oleh para relawan untuk mengumpulkan sumbangan untuk membantu sesama seperti bencana alam, sekolah bagi anak jalanan, dan sebagainya. Karena unik, beberapa orang berfoto dan memberinya uang tips. Uang yang terkumpul kemudian disumbangkan.

Namun, seiring berjalannya waktu, kegiatan menjadi manusia silver malah disalah gunakan oleh sebagian yang lain. Manusia silver kemudian dijadikan ladang untuk mengais pundi-pundi rupiah. Bukan untuk kegiatan bakti sosial.

Mari berpikir, apakah masyarakat di negara kita sudah cukup makmur hidupnya? Hingga para manusia silver ini memilih bertahan merelakan tubuhnya dicat dan meminta sumbangan kepada orang-orang.

Beberapa komunitas manusia silver yang resmi telah melakukan protes. Hal itu karena mencederai tujuan awal penggunaan manusia silver yang tadinya untuk bakti sosial menjadi kedok untuk mengemis.

Mereka meminta agar pemerintah segera menindak tegas para manusia silver yang sengaja berkeliling dan meminta uang receh. Selain itu masyarakat juga perlu diberikan edukasi agar tidak sembarang memberikan uang kepada mereka.

Menurut komunitas manusia silver, memberikan uang kepada manusia silver yang berkeliaran merupakan pelanggaran menurut perda K3, Undang-Undang lalu lintas, dan UU Nomor 19 tentang pengumpulan uang atau barang.

Apakah penghasilan manusia silver sangat bisa diandalkan sampai banyak yang memutuskan tetap menjadi manusia silver dan meminta belas kasihan masyarakat? Nyatanya manusia silver tetap bertahan walau badai pandemi dapat dikatakan sudah berada di fase aman.

Fenomena manusia silver sebenarnya merupakan masalah sosial yang menjadi fenomena dan berkembang dengan sangat cepat, hingga menjadi sulit untuk dilarang atau ditangani.

Memberikan uang receh kepada manusia silver memang bukanlah hal keji atau kotor. Akan tetapi secara tidak langsung kita sebagai masyarakat telah menanamkan mental mengemis kepada masyarakat. Mudahnya mencari uang dengan cara seperti itu, akan menjadikan lapangan kerja baru dengan model seperti itu. Tentu ini tidak mendidik.

Fenomena manusia silver semakin tidak terkendali terbukti dari terjadinya beberapa kasus yang sudah banyak diberitakan. Contohnya kasus bayi atau balita yang sengaja dicat dan diajak keliling untuk meminta-minta. Itu merupakan hal kurang tepat. Hal itu secara langsung mengajarkan anak untuk mengemis.

Selain fenomena manusia silver, banyak juga masalah sosial di negara kita yang hingga detik ini belum mendapatkan jalan keluarnya. Contohnya sering kita temui dan rasakan, para pengamen setiap harinya semakin banyak dan semakin tidak terkendali. Bahkan para pengamen sengaja mengajak anak mereka untuk ikut serta.

Bukankah dari segi psikologi anak hal tersebut tidaklah baik? Lalu bagaimana sebagai masyarakat kita harus menanggapi hal tersebut? Sebagian masyarakat yang awam dengan hal di atas, akan cuek dan masa bodoh dengan kondisi tersebut.

Bukankah sebagai orang tua kita harus mengajarkan kepada anak arti dari berjuang untuk kehidupan yang layak. Pemerintah perlu melakukan tindakan tegas kepada pengamen yang membawa anak balita, manusia silver yang membawa anak balita.

Karena, mereka merupakan generasi penerus yang harusnya diberikan hak pendidikan dan diarahkan menjadi generasi pembaharu. Generasi pembaharu yang melahirkan inovasi berguna bagi masyarakat. Bukan malah mengemis sepanjang jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *