Oleh: Misbah Priagung Nursalim
(Dosen Universitas Pamulang dan Pemerhati Transportasi Publik)
Mudik sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Sudah ada sejak zaman dahulu. Namun mulai ada mudik skala besar terjadi pada era 70-an.
Mudik berasal dari kata udik yang berarti kampung. Kata udik mendapat imbuhan berupa simulfik menjadi mudik yang artinya menuju kampung halaman. Itu sebabnya, mudik selalu dilakukan oleh kaum urban untuk pulang sejenak ke kampung halaman bertemu sanak keluarga.
Mudik bisa dilakukan kapan saja. Namun, mudik secara masal biasa dilakukan masyarakat di kala libur panjang. Terutama mendekati momen hari raya.
Mudik dilakukan oleh perantau untuk silaturahmi ke rumah orang atau keluarga yang ada di kampung halaman. Perantau mengobati lelah dan rindu setelah sekian lama bekerja di kota. Untuk itu, perantau tidak membuang kesempatan; mumpung libur panjang.
Mudik kemudian bergeser menjadi ritual wajib masyarakat. Libur panjang tidak lengkap tanpa mudik. Libur panjang biasa terjadi pada momen Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pergeseran fungsi mudik menjadi ritual wajib juga diiringi ke arah pamer dan jaga gengsi.
Itu sebabnya, dalam momen mudik biasanya ada juga yang dijadikan sebagai ajang pamer kepada tetangga di kampung halaman. Seperti sewa mobil pribadi agar terlihat sukses. Atau mendadak beli kendaraan baru sebelum mudik.
Mudik lebaran jadi momentum para pelaku usaha transportasi raup keuntungan tinggi
Meningkatnya animo masyarakat terhadap mudik, membuat para pelaku usaha di bidang transportasi berlomba-lomba memanfaatkan keuntungan dengan menaikkan tarif perjalanan contohnya. Dan itu lumrah.
Bukan hanya oleh swasta saja, BUMN juga melakukan hal yang sama. PT KAI, Damri, dan Garuda Group contohnya. Alasannya ya karena semua harga naik dan juga untuk membayar tunjangan karyawannya. Dan itu sah karena sudah diatur undang-undang asal tidak melebihi batas atas.
Mahalnya biaya mudik tidak menyurutkan langkah perantau untuk mengunjungi kampung halaman. Hal itu karena momen libur panjang tidak terjadi setiap hari. Apalagi bersamaan dengan penerimaan tunjangan hari raya.
Ingat kebijakan mudik dilarang, namun pulang kampung boleh ?
Sejak masa pandemi Covid-19, mudik lebaran secara resmi dilarang pemerintah. Mei 2020 pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Pemerintah hanya mengizinkan pulang kampung. Masyarakat sempat heboh membedakan mudik dengan pulang kampung yang ternyata memiliki perbedaan makna.
Mudik berarti menuju kampung halaman untuk sementara. Sedangkan pulang kampung berarti kembali ke kampung halaman untuk tidak kembali lagi ke kota. Razia digelar di berbagai tempat untuk mengantisipasi para perantau yang nekat mudik. Meski fakta di lapangan tidak seheboh pelarangan mudik di media.
Pelarangan mudik dilakukan untuk mengurangi jumlah penularan covid-19. Namun, nyatanya, hanya mudik lebaran yang dilarang. Mudik pada hari lain tidak dilarang.
Pun demikian dengan mudik lebaran tahun ini. Pemerintah kembali melarang masyarakat untuk mudik. Pelarangan mudik dilakukan jauh-jauh hari. Perantau yang nekat mudik juga diancam sanksi. Namun, agaknya pelarangan mudik tahun ini tidak seperti tahun sebelumnya. Mengapa?
Pertama, masyarakat tidak takut sanksi karena rindu kampung halaman sudah tidak terbendung. Perantau hanya memiliki libur panjang pada saat hari raya Idul Fitri. Sementara Idul Fitri sebelumnya tidak ada mudik. Sehingga perantau dipastikan nekat.
Kedua, sebagian masyarakat sudah menerima vaksin lengkap. Hal itu membuat mudik tahun ini memungkinkan dilakukan. Selain itu, biaya rapid lebih murah dibanding tahun lalu yang mendekati Rp 1 Juta.
Ketiga, agaknya pelarangan mudik hanyalah upaya cuci tangan pemerintah apabila terjadi pelonjakan kasus positif covid-19. Jika itu terjadi, pemerintah bisa beralasan bahwa pelarangan mudik sudah dilakukan. Hal seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Keempat, masyarakat masih beranggaoan bahwa silaturrahmi harus bertatap muka. Padahal di era modern ini, silaturrahmi bisa melalui panggilan telekonferensi. Namun, panggioan telekonferensi tidak bisa mengobati rindu masakan orang tua dan belaian lembut ibu di rumah.
Kebijakan pelarangan mudik tentu meresahkan para perantau. Para perantau harus kucing-kucingan dengan petugas untuk bisa tiba di kampung halaman.
Harga tiket mudik kondisi kucing-kucingan tentu lebih mahal dibanding mudik normal. Dan itu, masyarakat kembali dirugikan. Apabila tidak mudik sudah terlalu rindu. Jika mudik terlalu mahal. Namun, semahal apapun biayanya masayarakat akan tetap mudik.
Seyogyanya, pemerintah tidak memberikan harapan palsu. Mengapa?
Pertama, mudik terjadi akibat adanya libur panjang. Solusinya, pemerintah seharusnya tidak memberikan libur panjang. Cukup tanggal merah saja seperti hari besar pada umumnya. Waisak, Imlek, Nyepi cukup libur sehari. Maka Natal dan Idul Fitri juga cukup sehari.
Masyarakat yang hendak mudik bisa difasilitasi melalui cuti tahunan bagi mereka yang buruh ataupun abdi negara. Jadi, aktivitas mudik tidak tertumpuk pada saat Idul Fitri saja.
Kedua, pemberlakuan protokol kesehatan di setiap aktivitas migrasi. Pengguna angkutan umum wajib memakai masker, jaga jarak, dan memakai sanitizer serta menunjukkan hasil rapid yang masih berlaku.
Selama ini, aturan tersebut hanyalah aturan. Pelaksanaan di lapangan tidak begitu diperhatikan. Tidak semua penyelanggara moda angkutan umum menerapkan secara ketat. Semua pihak tidak ingin angka positif covid bertambah.
Namun, tidak semua pihak serius mengurangi angka positif Covid-19. Masyarakat butuh melepas rindu bertemu sanak keluarga. Namun, jika pemerintah benar-benar melarang mudik, pemerintah juga perlu memberikan solusi kepada masyarakat untuk tetap bertemu tetapi tirak dalam skala besar.
Selamat menialankan ibadah puasa dan selamat merayakan hari raya Idul Fitri bagi Anda yang menjalankannya.
(Editor: Ghugus Santri)