Catatan Kolong Langit; Urban, Modern, dan Budaya Massa

IMG 20210514 142652
Foto: Andi Hidayat (Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang)

Penulis: Andi Hidayat (Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang)

Opini, satusuaraexpress.co – Sebagai makhluk yang dinamis, manusia selalu melakukan perjalanan dari kolong langit ke kolong langit lainnya. Sejarah membuktikan bahwa genus homo ditakdirkan sebagai mahluk yang bergerak, melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam kitab agama-agama besar di dunia terdapat banyak kisah para tokoh di dalamnya melakukan perjalanan. Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah, demikian pula Yesus yang berjalan dari Nazerath ke Galilea, perjalanan Siddharta Gautama yang menjadikannya seorang Buddha. Perjalanan yang dimaksud tidak lain untuk menyempurnakan hubungan batiniah individu dengan Tuhan, menjadikan mereka yang lebih baik.

Jika ditarik pada konteks urban, yang terbuka pada perubahan, pada kenyataannya manusia seringkali terjebak dalam ketidakberubahan. Manusia seringkali ada dalam ruang paradoks dan menunjukkan problematikanya yang kompleks, kompleksitas tersebut tercermin di sini: di satu sisi ia tidak berubah, di sisi lain ia berubah.

Saat ini dapat kita setujui bahwa fenomena urban tentu tidak terjadi di ruang lingkup pedesaan. Masyarakat urban tumbuh dalam ruang kota yang jauh berbeda dengan masyarakat luar desa. Manusia urban menekankan hubungan sosial antar penghuninya pada sesuatu yang bersifat kontraktual.

Individu diformalisasi menjadi mesin yang dituntut untuk memenuhi obligasi-obligasi sistemis yang dibebankan padanya, karena pada dasarnya masyarakat kota bergantung satu sama lain secara fungsional. Spesialis pembagian pekerjaan yang terdapat di dalamnya hadir sebagai penyebab kebergantungan tersebut, Karl Marx menyebutnya sebagai alienasi.

Saat Marx mengonsepkan itu dalam konteks buruh-buruh di pabrik yang menuntut pekerja memeras tenaga demi sebuah komoditas. Misalnya pengrajin sepatu yang terikat dengan kontrak perusahaan, ia bekerja memeras keringat, tetapi tidak merasakan produk yang ia ciptakan sendiri. Para pengrajin tersebut terasing dengan apa yang mereka kerjakan. Tanpa kita sadari alienasi menjadi awan hitam yang menaungi kehidupan mewah, gemerlap dengan lampu-lampu kota yang menyilaukan mata. Di tengah senyum dan tawa dalam kehidupan kota, manusia-manusia urban sebenarnya sedang terasing dari perbuatannya setiap hari.

Lebih parah lagi, mereka terasing dari dirinya sendiri akibat terlalu asik hidup dalam sistem. Tidak seperti masyarakat pedesaan yang pada umumnya lebih intim, integratif dan komunal, masyarakat kota cenderung lebih individual, kompetitif, dan artifisial dalam hubungan sosial. Kondisi kota sudah seperti pabrik raksasa, yang setiap orang tak perlu mengenal orang lain, karena yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan pribadi untuk tetap hidup.

Fenomena di atas secara gamblang menjelaskan bagaimana urban dan hal-hal modern lainnya membuka ruang bertumbuhnya konsumerisme pada masyarakat tanpa mengenal golongan. Tidak hanya dalam lingkup perkotaan, tetapi pedesaan juga mulai menunjukkan kecenderungan-kecenderungan tersebut.

Sifat konsumtif menjalar di setiap tatan masyarakat melalui industri penyiaran yang malulu menyajikan kemewahan dan hingar-bingar kehidupan. Semua dapat kita rasakan dari pergeseran kebutuhan, dari tersier menjadi primer. Upaya mencapai kehidupan yang lebih baik menimbulkan lebih banyak kesusahan, dan bukan untuk yang kali terakhir.

Seringkali terjadi pada wisudawan/wisudawati muda yang mengambil pekerjaan penuh tuntutan di perusahaan-perusahaan ternama, bersumpah bahwa mereka akan bekerja keras demi meraup uang yang memungkinkan mereka pensiun dan mengejar minat sejati ketika berusia 35 tahun.

Pada usia itu, ternyata memiliki utang KPR yang besar, anak-anak yang mesti disekolahkan, rumah di pinggiran kota yang mengharuskan setiap orang memiliki satu unit mobil, dan merasa bahwa hidup tidak layak dijalani tanpa anggur dan berwisata keluar negeri. Mereka melipatgandakan upaya dan terus menghambakan diri.

Kemewahan cederung menjadi kebutuhan dan melahirkan kewajiban-kewajiban baru. Begitu orang terbiasa terhadap satu kemewahan tertentu, mereka pun menerimanya sebagai suatu kewajaran. Lalu mereka mulai mengandalkannya. Akhirnya mereka mencapai di satu titik, di mana mereka tidak bisa hidup tanpa kemewahan itu. Selama dasawarsa terakhir zaman telah melahirkan banyak inovasi-inovasi baru dengan tujuan penghematan waktu yang dimaksudkan untuk membuat hidup lebih praktis; mesin cuci, ponsel pintar, komputer, dan kendaran bermesin.

Masyarakat dituntut untuk bekerja lebih lama dengan tutujuan meraup uang lebih banyak agar dapat terpenuhi kemewahan tersebut. Kota hidup tanpa istirahat dan bandul waktu memacu masyarakat untuk tetap menjadi robot yang terus bekerja tanpa henti.

Sifat konsumtif yang mengendepankan kesenangan universal sementara tersebut disebut sebagai budaya massa. Budaya massa sendiri dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, terefikasi dan palsu. Budaya massa tampaknya patut untuk dicermati, sebab lahir dari industri budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis. Televisi misalnya, tanpa kita sadari telah mengontrol kehidupan modern. Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme untuk menghimpun massa agar terseret arusnya.

Modern dalam masyarakat mengambil tempat dalam rupa eskapisme dan gaya hidup. Keduanya merupakan saluran yang berbeda bentuk dan nilai. Meskipun demikian, keduanya dapat berdampingan dan sulit dilepaskan. Individu atau kelompok bukan tidak mungkin meresapi kehidupan modern yang dilakukan sebagai konsumsi gaya hidup sekaligus upaya melarikan diri.

Meskipun demikian, masyarakat harus mulai memikirkan kembali bahwa gaya hidup yang mereka “beli” itu mungkin saja bagian dari sekenario yang telah disusun suprastruktur tertentu untuk mengontrol kehidupan modern dan menjadikan praktik gaya hidup masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *