Vaksin Nusantara Menuai Polemik di tengah Masyarakat Indonesia

Screenshot 2021 0320 120211

Satusuaraexpress.co – Vaksin Nusantara menuai polemik di tengah masyarakat Indonesia. Vaksin garapan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu terus menjalani pengujian meski tidak mendapat restu dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Vaksin Nusantara diketahui merupakan vaksin COVID-19 dengan metode dendritik yang terbilang berbeda dari kebanyakan vaksin yang beredar untuk keperluan vaksinasi di Indonesia. Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo mengatakan vaksin Nusantara dengan metode sel dendritik adalah vaksin dengan mengeluarkan sel dendritik di dalam tubuh dan kemudian dimasukkan lagi. Sel dendritik diperoleh dengan cara mengambil darah orang yang akan akan divaksin. Sel dendritik adalah sel imun yang akan mengajarkan sel-sel lain untuk memproduksi antibodi.

Di dalam darah manusia diketahui ada tiga macam sel, yakni sel darah merah, sel darah putih, dan sel prekursor dendritik. Sel prekursor dendritik belum menjadi sel dendritik. Sel dendritik bisa tumbuh dengan diberikan secara khusus setelah sel prekursor dendritik ditumbuhkan di cawan laboratorium. Masa inkubasi dari sel prekursor dendritik menjadi sel dendritik membutuhkan waktu beberapa hari, pada masa ini, Ahmad mengatakan ahli akan memberikan antigen ke sel dendritik.

Antigen adalah bagian dari virus atau virus yang dilemahkan yang dapat memicu tumbuhnya antibodi dalam tubuh manusia. Antigen yang terkandung dalam vaksin biasanya disuntikan ke dalam kulit hingga nantinya bertemu dengan sel dendritik.

Pada vaksin Nusantara, antigen diberikan ke sel dendritik yang diambil dari darah orang yang akan divaksin di laboratorium.

Setelah sel dendritik telah terpapar antigen, ahli akan menyuntikkan kembali sel itu ke orang yang diambil darahnya. Sel dendritik dari relawan A tidak bisa diberikan ke relawan B, C, atau D. Vaksin dengan metode dendritik dikenal sangat mahal. Satu orang pasien yang diobati dengan metode itu bisa mencapai ratusan juga hingga miliaran rupiah. Mahalnya metode sel dendritik terkait prosesnya yang rumit. Para ahli diketahui harus mengambil darah, memisahkan sel, menumbuhkan dan memperbanyak sel dendritik, hingga memasukkannya lagi ke dalam tubuh. Melansir Nature, sel dendritik biasanya terdapat pada vaksin kanker.

Sel dendritik

Sel dendritik ditemukan oleh Ralph Steinman pada tahun 1973, bentuknya mirip pohon, bertanggung jawab atas inisiasi respons kekebalan adaptif sehingga berfungsi sebagai “penjaga” sistim kekebalan.   Sel dendritik adalah sel leukosit dari sumsum tulang belakang dan merupakan jenis sel pembawa antigen paling kuat ( mayor antigen-presenting cells).

Sel dendritik dari sumsum tulang belakang dan darah diperbanyak secara in vitro menggunakan berbagai kombinasi factor pertumbuhan. Sel- dendritik dikhususkan untuk menangkap dan memproses antigen, mengubah protein menjadi peptide, dibawa pada molekul  major histocompatibility complex ( MHC) dan dikenali sel T. Sekali diaktifkan, sel dendritik menhadirkan antigen sel T CD4+ dan CD8+, menginduksi respons sel T pelindung. Sel dendritik sejak lama di sarankan sebagai vaksin berbasis sel karena respons sel T sangat penting untuk memunculkan respons imun terhadap kanker. Peradangan memainkan peran penting dalam perkembangan kanker. Peradangan akut merangsang fungsi sel dendritik dan sel T efektor, selanjutnya memicu aktivasi anti tumor.

Pada tahun 1990 an, sel dendritik dikembangkan sebagai vaksin dengan konsep memapari sel dendritik dengan antigen spesifik tumor ex vivo. Sipuleucel-T adalah vaksin kanker sel dendritik pertama yang disetujui FDA pada tahun 2010 untuk terapi kanker prostat.

Pada tahun 2017, CDSO India (BPOM-nya India) menyetujuhi vaksin dendritik  APCEDEN untuk tindakan empat  jenis kanker, prostat, rahim,kolorektal, dan paru sel besar.

Sel dendritik precursor diekstraksi dari setiap pasien dan kemudian dipapar dengan protein fusi dari asam fosfatase asam fosfat (PAP, suatu antigen yang ditemukan pada sebagian besar sel kanker prostat) dan sitokin GM-CSF, yang membantu sel dendritik menjadi matang (“terampil mengenali sel kanker prostat” ). Sel dendritik yang telah matang diinjeksikan kembali ke tubuh pasien selama beberapa siklus. Sebagai metode baru, tentunya vakwin kanker sel dendritik perlu penyempurnaan.

Untuk menghasilkan sel dendritik yang lebih matang dan efektif, strategi riset perlu diperbaiki, termasuk pengembangan protocol ex vivo , kombinasi antigen alternative. Pemaparan sel dendritik dioptimalkan dan transfeksi sel dendritik dengan RNA atau DNA.

Vaksin COVID-19 konvensional

Vaksin COVID-19 konvensional diturunkan dari virus atau komponen virus seperti  mRNA pada vaksin produksi Pfizer dan Moderna, DNA,atau protein. Ada komponen vaksin berupa zat biologi asing (xenobiologi) yang bila dimasukkan ke dalam tubuh akan dianggap musuh dan dihancurkan sebagai respons kekebalan. Uji coba klinik fase III vaksin konvensional memunculkan angka kemanjuran (efficacy). Namun, data dampak negative jangka panjang tidak diperoeh dari uji klinik fase III. Setelah pelbagai vaksin convensional diaplikasikan masal, muncul efek samping berupa penggumpalan darah mengindikasikan ada xenobiologi yang tidak disukai tubuh. Berbeda dengan vaksin konvensional, vaksin dentritik berasal dari sel dendritik precursor seseorang yang dilatih melawan komponen virus di luar tubuh (ex vivo). Setelah terampil sel dendritik diinjeksikan kembali ke dalam tubuh.Karena bukan xenobiologi, secara teoritis risiko jangka panjang vaksin sel dendritik lebih kecil

Belum ada publikasi ilmiah vaksin dendritik untuk COVID-19

Sampai saat ini belum ada publikasi ilmiah vaksin dendritik untuk Covid-19. Beberapa virus hidup seperti virus influenza dapat menginfeksi semua jenis sel kekebalan kecuali sel dendritik plasmasitosid. Sel dendritik plasmasitosid bertanggung jawab pada fagositosis virus dan sekresi Interferon tipe 1. Interferon tipe 1 memainkan peran penting dalam reaksi kekebalan adaptif terhadap virus. Disisi lain dalam vaksin konvensional berbasis virus utuh yang dimatikan, sel dendritik plasmasitosid justru menelan seluruh virus mati untuk menghasilkan Interferon tipe 1. Ini boleh jadi akan menghasilkan kekebalan adaptif yang bersifat sesaat,ini mungkin kelemahan vaksin Sinovac.

Vaksin sel dendritik sangat personal (autologus) dan tidak dapat diproduksi secara masal. Sumber sel dentritik lansung dari darah orang yang akan divaksin. Publikasi riset vaksin sel dendritik pada jurnal ilmiah kedokteran internasional, banyak focus pada terapi sel imunoterapi. Hal ini disebabkan terapi konvensional seperti kemoterapi, radio terapi, dan operasi pengangkatan tumor dirasa kurang efektif.

Bagaimana dengan vaksin Nusantara ?

Munculnya Vaksin Nusantara yang diprakarsai mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto  mendapat berbagai respons. Vaksin ini dikembangkan tim peneliti dari PT. Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, dan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip). Tahapan uji klinis dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah. Peneliti Undip Yetty Movieta Nency mengatakan vaksin yang sedang dikembangkan ini adalah vaksin berbasis sel dendritik autolog yang merupakan komponen dari sel darah putih. Tujuan pemberian vaksin, adalah untuk merangsang respon imun spesifik terhadap antigen spike dari SARS CoV-2.

Sel dendritik yang telah mengenali antigen akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali dan akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap virus corona.

Prosedurnya bagaimana jadi subjek itu kita ambil darahnya kemudian kita ambil sel darah putihnya, kita ambil sel dendritiknya. Kemudian di dalam laboratorium kita kenalkan dia dengan recombinan dari virus SARS CoV-2. Jadi kita kenalkan kemudian setelah itu sel dendritiknya menjadi pintar bisa mengenali, sudah tahu bagaimana mengantisipasi virus kemudian dia kita suntikkan kembali.

Pengembangan vaksin COVID-19 dengan metode berbasis sel dendritik ini diklaim menjadi yang pertama di dunia.

Pengembangan Vaksin Nusantara saat ini memasuki uji klinis fase kedua. Fase pertama untuk mengetahui keamanan vaksin telah selesai dilaksanakan pada akhir Januari 2021. Uji klinis tahap pertama diberikan kepada 27 sukarelawan. Hasil uji klinis dinyatakan baik tanpa ada keluhan berat.

Mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto di sela mendampingi kunjungan kerja anggota Komisi IX DPR RI di RSUP di sela kunjungan DPR menegaskan kehadiran Vaksin Nusantara bukan sebagai saingan vaksin sebelumnya. Kerja sama ini sudah dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/2646/2020 tentang Tim Penelitian Uji Klinis Vaksin Sel Dendritik SARS CoV-2 pada tanggal 12 Oktober 2020.

Menurutnya, uji klinis fase dua ini dilakukan untuk menentukan efektivitas vaksin. Uji klinis akan diujikan kepada 180 sukarelawan vaksin sebelum memasuki uji klinis fase tiga guna menentukan pengaturan dosis untuk 1.600 sukarelawan vaksin.

Selama ini teknologi sel dendritik masih dilakukan untuk pengobatan kanker melalui teknik rekombinan dengan mengambil sel, lalu dikembangkan di luar tubuh, sehingga dengan teknik tersebut, dapat dihasilkan vaksin.

Dalam dunia kedokteran, sel dendritik merupakan sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun. Proses pengembangbiakan vaksin COVID-19 dengan sel dendritik akan terbentuk antigen khusus, kemudian membentuk antibodi. Metode ini hanya pembibitan sel dengan tujuan memproduksi antibodi dalam tubuh. Prosesnya dapat ditunggu sekitar tiga hari kemudian setelah itu sel dendritiknya disuntikkan kembali ke dalam tubuh.

Namun Uji klinik Vaksin Nusantara menimbulkan berbagai kontroversi karena dianggap tidak mengindahkan norma praktik kedokteran dan berbagai regulasi pemerintah.

Berbagai regulasi yang dianggap tidak diindahkan dalam uji klinik Vaksin Nusantara yakni UU No.36/2019, UU No.8/1999, Permenkes Nomor 1990 Tahun 2010, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No.21/2015, Peraturan BPOM No.34/2018, dan Peraturan BPOM No.18/2020 sehingga berpotensi membahayakan keselamatan subjek uji klinis.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai penghentian uji klinis adaptif fase I Vaksin Nusantara adalah langkah yang tepat.

Kesepakatan penghentian uji klinik untuk kandidat vaksin tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Menteri Kesehatan RI, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Kepala BPOM yang ditandatangani pada 19 April 2019.

MoU yang sama membuka jalan penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan untuk menggunakan sel dendritik guna meningkatkan imunitas individu terhadap virus SARS-CoV-2 ( personalised vaccine ).

CISDI mendesak para pihak untuk menunda penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan sampai dapat dibuktikan keamanannya, sesuai amanat Permenkes No.32 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan Sel.

Menurut keterangan CISDI, dalam proses persiapan dan penyelenggaraannya, para pihak juga harus memberikan informasi penelitian yang dapat diakses oleh pasien dan masyarakat luas yang mencakup:

-Proposal penelitian, termasuk di dalamnya protokol penelitian.

-Ethical clearance.

-Persetujuan/rekomendasi komite Sel Punca dan Sel

-Persetujuan dari kepala atau direktur rumah sakit.

-Sumber pendanaan, terutama jika melibatkan dana Pemerintah (APBN/APBD).

Persetujuan yang diberikan untuk penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan juga harus ditetapkan bersyarat (conditional approval) dengan kewajiban melaporkan penelitian secara periodik.

Menurut tim CISDI, ketentuan-ketentuan di atas seharusnya dijelaskan dalam perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum, lebih dari sekadar nota kesepahaman.

Pada akhirnya Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Andika Perkasa menyatakan penelitian sel dendritik di RSPAD Gatot Soebroto tetap dilanjutkan, dan bukan menjadi kelanjutan dari tahap uji klinis vaksin Nusantara.

Langkah ini sebut didukung untuk memenuhi rasa keadilan bagi pasien COVID-19 yang tak bisa disuntik dengan vaksin massal..

Namun, seorang ahli kesehatan menilai langkah itu diambil sebagai jalur kompromi di tengah polemik vaksin yang digagas mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto itu.

IDI sebagai organisasi profesi dan terutama BPOM  dituntut untuk mengawal  dan melakukan supervisi pelaksanaan uji fase1 ini, untuk menilai apakah layak diteruskan ke uji klinis fase selanjutnya. Kalau ternyata pelaksanaan uji klinis fase 1 tidak sesuai maka tentunya sudah kewajiban teknis bagi BPOM tidak meloloskan fase berikutnya, karena BPOM punya tanggung jawab besar memastikan dan mengawal uji klinis  vaksin nusantara ini dilakukan dengan benar. Benar ini ukurannya bukan diuji kadar nasionalisme, tetapi benar ini diuji kualitas uji klinisnya. Artinya benar berbasis bukti ilmiah ( Evidence based Medicine ) , benar sesuai GLP ( Good Laboratory Practice ). Benar sesuai GMP ( Good Manufacturing Practice ) dan benar sesuai GCP ( Good Clinical Practice ). Ada ukurannya. Dan ukurannya bukan kadar nasionalismenya. Tetapi kadar keamanan ( safety) dan efikasinya. Karena masyarakat yang akan dirugikan bila dberi vaksin yang tidak diketahui efikasi dan safety profilenya.

Salam sehat

Jakarta 24 April 2021

Dr.Mulyadi Tedjapranata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *