Tangerang, Satusuaraexpress.co – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Pena Masyarakat (Banten) & WALHI Jakarta menilai hingga hari jadinya yang ke 21 Kota Cilegon, Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon belum berhasil memberikan warganya akan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Warga dibiarkan untuk terus menghirup polusi yang ditimbulkan berbagai industri yang mengatasnamakan pembangunan.
“Di Hari jadi Kota Cilegon yang ke 21 dengan jargon ‘Akur Sedulur Adil Makmur’ ini nyatanya gagal memastikan warganya akan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujar Direktur Pena Masyarakat Banten, Mad Haer saat menggelar aksi Simpatik di Kota Cilegon Rabu, (28/4/2021)
Pria yang akrab disapa Aeng ini mengatakan Kota Cilegon yang disebut juga sebagai Kota Baja, karena terdapat Industri pengolahan Baja pertama di Indonesia yaitu Krakatau Steel ini nyatanya membuat masyarakat Banten terus terpapar polusi udara akibat keberadaan puluhan hinga ratusan Industri ekstraktif sudah tebangun di wilayah Kota Cilegon.
Hal ini semakin diperparah dengan keberadaan 2 Unit PLTU berkapasitas 2 x 1000 Megawatt (MW) di daerah Suralaya, yang saat ini sedang tahap pembangunan yang diprediksi membutuhkan batu bara hampir 7-10 Ton per tahunnya.
“Saat ini kami melihat Pemerintah Cilegon tidak melakukan inventarisasi emisi secara baik, ini terlihat dari alat pemantauan kualitas udara di Cilegon tidak optimal, bahkan beberapa alat seringkali terlihat tidak beroperasi. Patut diduga Pemkot menutup-nutupi kondisi nyata kualitas udara di Cilegon. Padahal keluhan masyarakat terhadap kondisi lingkungan hidup di kota ini cukup tinggi, dan kami menduga kuat pencemaran udara di Cilegon tertinggi berasal dari Pembakit Listrik Tenaga Uap (PLTU)” ujar Aeng.
Menurut Aeng beberapa waktu lalu sempat terjadi semburan debu dari cerobong asap PLTU Suralaya. Hal itu menurut Aeng menandakan adanya kegagalan teknologi yang terjadi saat itu sehingga menyebabkan keluarnya flying Ash, hujan debu hasil pembakaran batu bara dari cerobong asap Unit I PLTU Suralaya, dan menyebabkan hembusan udara kencang melebihi batas ESP.
“Pemerintah tidak boleh abai, jangan terus biarkan masyarakatnya terus menghirup polusi,” tegas Aeng.
Aeng juga mengungkapkan dari hasil kajian “Racun Debu di Tanah Jawara” yang dilakukan oleh Trend Asia, Pena Masyarakat, dan WALHI Jakarta (2019) menunjukan paparan pencemaran udara di Kota Cilegon sangat tinggi, pada tahun 2017 saja kunjungan pasien Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Bojonegara (wilayah yang berdampingan langsung dengan PLTU Suralaya) mencapai 1.274 orang.
Bahkan dilaporkan pada bulan Juli 2017 sebanyak 15.039 balita Kota Cilegon mengalami batuk-batuk atau kesukaran bernafas, yang merupakan indikasi awal ISPA. Ancaman ini akan diperparah jika proses pembangunan PLTU baru (PLTU Jawa 9 & 10).
Sementara itu, Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta mengungkapkan bahwa keberadaan PLTU di Banten menyebabkan pencemaran udara terjadi secara “laten”, kita semua tidak bisa memilih untuk menghirup udara yang baik, melainkan dipaksa untuk menghirup udara buruk, dan ini adalah sebuah kejahatan ekologis.
Melihat karakteristik Banten yang rentan terhadap bencana, tidak seharusnya provinsi ini terdapat infrastruktur energi berbasiskan industri, terlebih lagi menggunakan energi kotor batubara (PLTU).
“Membangun PLTU bukanlah investasi, melainkan menghadirkan bencana ke tengah masyarakat, dan bahkan lebih cepat. Untuk itu proses pembangunan PLTU baru harus segera dibatalkan, jika tidak Banten akan berada pada keadaan multi krisis ekologis dan multi krisis rawan bencana,” tegas Soleh. (*)