Nasib Bahasa Indonesia di Negerinya dan Mimpi Internasionalisasinya

IMG 20210407 140913
Misbah Priagung Nursalim, M.Pd. - Dosen Universitas Pamulang & Pemerhati Transportasi.

Penulis: Misbah Priagung Nursalim, M.Pd.

Satusuaraexpress.co – Sebagai bahasa persatuan, Bahasa Indonesia diakui dalam Sumpah Pemuda. Sebagai bahasa negara, Bahasa Indonesia diakui dalam UUD. Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam negeri. Namun, amanah UU No 24 tahun 2009, bahasa Indonesia harus menjadi bahasa internasional. Mampukah?

Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa internasional. Salah satunya adalah program bahasa Indonesia bagi penutur asing yang dikenal dengan istilah BIPA. Program BIPA di bawah pengawasan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sesuai namanya, BIPA diperuntukkan bagi penutur asing. Fungsi BIPA yaitu memartabatkan bahasa Indonesia dan memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia kepada orang asing.

Pengajaran BIPA sendiri dibagi menjadi dua kategori. Pertama, mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing yang bekerja atau belajar di Indonesia. Pelajar asing yang menimba ilmu di Indonesia wajib menguasai bahasa Indonesia. Metode ini diterapkan di sekolah / perguruan tinggi yang memiliki pelajar asing. Begitu juga dengan pekerja asing.

Namun, kebijakan pekerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia pernah dihapus pada Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 dengan alasan menghambat investasi. Padahal TKI yang bekerja di luar negeri saja wajib menguasai bahasa negara tujuan.

Kedua, mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing di luar negeri. Pemerintah mengirim pengajar bahasa Indonesia untuk mengajar kepada orang asing. Pengajaran BIPA sudah dilakukan ke berbagai negara. Namun bagaimana nasib bahasa Indonesia di negerinya sendiri?

Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, perdagangan, pergaulan, keagamaan, kenegaraan, dan sebagainya. Namun, bahasa Indonesia seperti menjadi bahasa kedua yang kurang diminati penggunanya.

Dalam lingkup pendidikan, banyak penggunanya yang belum memahami penggunaan ragam lisan maupun ragam tulisan. Ada banyak naskah akademik berbahasa Indonesia yang tata bahasanya amburadul. Penulisan tidak memperhatikan ejaan, kalimat efektif, dan tata bahasa baku.

Bahasa Indonesia dalam lingkup pergaulan lebih sering dipelesetkan menjadi ragam bahasa gaul. Meski asal katanya berasal dari bahasa Indonesia, namun penggunaan bahasa gaul berpotensi melemahkan penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkup sosial.

Selain itu, penggunaan bahasa asing sebagai pencampur komunikasi juga marak terjadi. Alih-alih agar penutur tampak modern juga agar penuturnya lebih terlihat cerdas. Dan masih banyak lagi.

Bahasa Indonesia dalam lingkup keagamaan juga tak luput dari sorotan. Masyarakat terbiasa untuk berdoa dalam bahasa asing. Dalam lingkup pergaulan dalam majelis taklim misalnya, penutur lebih sering mencampukan kosa kata bahasa Arab untuk berkomunikasi. Alih-alih agar tampak fasih juga agar terlihat religius.

Meski tidak ada aturan tertulis, masyarakat Indonesia sepertinya dituntut untuk menjadi poliglot. Masyarakat Indonesia terlahir menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Di dunia pendidikan dasar, pelajar dituntut menggunakan bahasa Indonesia, baik ragam lisan maupun tulis. Bahan bacaan, tontonan di televisi juga menggunakan bahasa Indonesia.

Di tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi, pelajar dituntut untuk mahir berbahasa Inggris sebagai syarat masuk atau sayarat kelulusan. Di lingkup ibadah, masyarakat dituntut untuk menggunakan bahasa Arab.

Bahasa Indonesia tidak benar-benar diutamakan penggunaannya. Upaya internasionalisasi hanya membentuk citra baik di luar agar penutur asing tertarik dengan bahasa Indonesia tetapi tidak diiringi rasa cinta bahasa Indonesia dari penutur aslinya. Ada upaya penggembosan dari dalam.

Materi bahasa Indonesia sudah diajarkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun, kemampuan berbahasa yang benar dan baik masih jauh dari sempurna. Sebagian besar masyarakat belum mampu membedakan ragam bahasa lisan dengan ragam bahasa tulis. Hal itu bisa dilihat dari tulisan di media sosial.

Masyarakat terbiasa menggunakan ragam lisan yang ditulis pada media sosialnya. Hal itu membuat sering terjadi multitafsir yang tak sedikit menimbulkan keributan akibat tulisan di media sosialnya. Belum mahirnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi ditambah keinginan untuk mempelajari bahasa lain membuat pengguna bahasa Indonesia semakin asal terhadap bahasa Indonesia.

Tentu ini hampir mirip dengan pemerintah India beberapa tahun silam yang menghendaki internasionalisasi wisata India namun tidak memperhatikan kemampuan berbahasa masyarakatnya. Jangan sampai internasionalisasi berhasil di luar negeri tetapi gagal menasionalisasi penutur aslinya di dalam negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *