Satusuaraexpress.co – Pada tanggal 13 Januari 2021 di Istana Negara, Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di republik tercinta ini untuk disuntik vaksin Corona vac. Diikuti perwakilan tenaga medis, perwakilan agama, budaya.
Hampir seluruh tv pemerintah dan tv swasta meliput kegiatan vaksinasi, juga surat kabar bahkan semua medsos terfokus dengan berita vaksinasi.
Dalam konteks sosial, dimana keteladanan menjadi persoalan penting. Terutama diakhir tahun 2020, ketika negeri ini dibanjiri kasus menteri penyelenggara negara yang terlibat korupsi ditengah pandemi Covid-19 yang menerjang negeri ini.
Pesan yang bisa ditangkap dari berita vaksinasi Presiden Joko Widodo adalah bahwa beliau konsisten berada di garda depan dalam menerima setiap risiko vaksinasi.
Disamping itu, Presiden meyakinkan ke masyarakat Indonesia bahwa vaksin yang digunakan aman. Tentu setelah dilakukan uji klinis di Bandung di Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran terhadap 1620 sukarelawan secara cermat, terukur, dan intensif dengan efektivitas 62,5 persen sesuai panduan WHO efektivitas diatas 50 persen. Diperkuat dengan fatwa MUI halal dan suci.
Presiden meletakkan keselamatan rakyat Indonesia di atas segala kepentingan. Keselamatan rakyat Indonesia menjadi orientasi etik tertinggi yang turunannya adalah praksis pembebasan rakyat dari segala ancaman virus corona yang mematikan. Pilihan nilai ini memberi pesan bahwa seorang *pemimpin sejati* harus berani menempuh langkah- langkah profetik. Bukan hanya memerintah, apalagi selalu minta dilayani. Disini rakyat Indonesia diposisikan sebagai representasi kedaulatan rakyat, dimana pemimpin berada pada posisi sebagai pelayan.
Bernegara adalah berkonstitusi secara benar dan baik. Kedaulatan rakyat menjadi sumber hukum tertinggi yang dirinci dan di dalam kitab konstitusi.
Kewajiban pemimpin adalah mewujutkan nilai- nilai yang ada di dalam narasi konstitusi menjadi tindakan pelayanan dan pengabdian.
Virus corona merupakan fenomena paradoksal. Di satu sisi ia memberikan ancaman kematian, stagnasi kebudayaan/peradaban, keterasingan sosial, dan kemacetan roda perekonomian. Disisi lain, ia memberikan tantangan pada kecerdasan manusia untuk berani meninjau kembali proses- proses peradaban yang selama ini terjadi dan menemukan jawaban atas persoalannya.
Terlepas dari narasi- narasi politik yang selama ini beredar di sosmed yakni COVID-19 merupakan rekayasa politik konspirasi global. Pada kenyataannya virus corona itu ada dan mengancam umat manusia bahkan telah menyebabkan kematian tenaga kesehatan dokter, dokter spesialis , guru besar dan tenaga kesehatan lain. Bahkan banyak pejabat publik yang terpapar COVID-19
Upaya yang terbaik adalah mengatasi dari pada sibuk menganalisis narasi konspirasi, tanpa berbuat apa-apa.
Begitu juga ketika fenomena COVID-19 dikaitkan dengan sistem kepercayaan, sistem keyakinan bahkan sistem keimanan. Misalnya, soal hidup mati menjadi otoritas Tuhan. Memang benar hidup dan mati adalah otoritas Tuhan Namun Tuhan juga mewajibkan umat manusia berusaha dan berjuang dengan mengerahkan seluruh potensi diri demi bisa bertahan hidup. Tuhan sangat menghargai usaha manusia .
Ini yang sering tidak dilihat banyak orang sehingga kasus COVID-19 lebih dipandang sebagai masalah medis dan dilepaskan dari kaitannya dengan sistem keyakinan berbasis Ilahi dan kultural. Sehingga ketika Presiden menyatakan dirinya sanggup menjadi orang pertama yang divaksinasi, hal ini sejatinya bisa difahami sebagai langkah profetik. Profetisisme berorientasi horisontal (pembebasan atas sesama manusia dari segala keburukan/ kepunahan) dan vertikal ( peningkatan eksistensi manusia secara transendental).
Dalam konteks profetisisme, kejahatan penyelenggara negara yang tega dan keji menyunat bantuan bagi masyarakat kecil terdampak COVID-19 merupakan pengingkaran atas kebenaran Ilahi. Ini terkait pemahaman bahwa manusia dihadirkan didunia pada galibnya untuk menjadi pemimpin yang bisa mewujurkan kerajaan Tuhan di bumi. Para pemimpin diruntut mampu mem _breakdown_ nilai-nilai sifat Tuhan. Maha Pengasih, Penyayang, Pemberi. Konkretnya mampu mengangkat nilai nilai keteladanan. Dalam keteladanan terkandung nilai- nilai ideal yang menjadi horizon harapan bagi pelaku kekuasaan untuk mensejahterah kan dan membahagiakan rakyatnya.
Pada era Orde Baru banyak pemimpin yang mampu menunjukkan nilai – nilai keteladanan. Praktek kekuasaan Orde Baru memang tidak sepenuhnya ideal ditandai dengan penindasan HAM, hegemoni politik, dan dominasi ekonomi, korupsi dan lainnya. Namun di tengah kegelapan itu masih muncul individu- individu yang berintegritas, berkapabilitas dan berkomitmen. Ini menunjukkan bahwa kemunculan pribadi unggul yang mampu melampaui peran sosialnya bisa terjadi dalam situasi apapun. Termasuk dalam sistem kekuasaan yang represif dan korup.
Bagaimana nilai keteladanan di era Reformasi ?
Nilai keteladanan di era refomasi tidak banyak terlihat . Euforia berdemokrasi berkembang tanpa kisi kisi yang jelas. BJ.Habibie menjabat sebagai Presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto yang lengser akibat desakan massa Reformasi 1998. Dia mendapatkan kekuasaan dari pemimpin yang turun karena desakan rakyat; bukan dari suksesi kekuasaan secara normal.
Habibie menerima estafet kepemimpinan di saat kapal Indonesia tengah oleng. Namun , ( _wahyu ratu_) sepertinya menuntun kepemimpinan nasional dan berhasil menciptakan berbagai perubahan besar yang menjadi dasar bagi sistim pemerintahan Indonesia selanjutnya.
Dalam bidang politik Habibie mengubah sistim demokrasi terpimpin ala Soeharto menjadi demokrasi liberal. Pergantian ini membuka lebar keran kebebasan untuk berpolitik, berserikat, menyampaikan pendapat, melakukan kerja jurnalistik, dan lain sebagainya.
Dalam tempo yang sangat singkat, menjadi negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Sayangnya Habibie hanya memiliki kesempatan selama satu tahun lebih untuk menjadi presiden. Dan Habibie berkorban , Ia adalah seorang pahlawan demokrasi Indonesia.
Pada era reformasi, negara nengalami semacam pencairan sebagai pusat orientasi nilai nilai keadaban publik. Negara jadi kurang berwibawa justru di era demokratis. Setiap kelompok sosial politik lebih menjelma menjadi komunitas yang berorientasi pada kekuasaan semata. Bahkan pada kemaslahatan kolektif berbangsa dan bernegara. Setiap pemimpin lebih memilih menjadi aktor kepentingan bukan negarawan. Orientasi kepada kekayaan material jauh lebih menonjol dari pada spirit pengabdian kepada rakyat dan negara.
Dalam situasi politik ini muncul Joko Widodo sosok yang sederhana, hemat, dan merakyat, yang merupakan karakter kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia untuk menuju ke arah yang lebih substantial.
Di tengah pandemi COVID-19 yang tidak jelas kapan berakhir Joko Widodo menunjukkan keteladanannya dengan menjadi orang pertama yang menjalani vaksinasi COVID-19.
Beranikah para pemimpin lain mengikuti jejak Joko Widodo? Tidak hanya dalam konteks vaksinasi, tetapi juga ketika mereka menjalani peran sosial politiknya?
Penulis : dr. Mulyadi Tedjapranata.