Oleh Dr. Mulyadi Tedjapranata
Jakarta, 5 Desember 2020 Dibaca normal 1 menit
satusuaraexpress.co – Flu merupakan penyakit yang sering dialami oleh setiap orang. Pengobatan mandiri seperti membeli obat di apotek seringkali dilakukan. Namun, apakah praktik yang dianggap wajar ini adalah langkah yang tepat? Padahal reaksi tubuh masing-masing orang terhadap virus bisa jadi berbeda.
Obat yang sama belum tentu menunjukkan efektivitas yang sama pada orang yang berbeda. Begitu juga pengobatan COVID-19 yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2 virus baru yang sampai hari ini belum ada obatnya.
Jika Anda terkena COVID-19 tidak mengalami gejala atau hanya mengalami gejala ringan, Anda bisa melakukan perawatan mandiri di rumah yaitu isolasi mandiri selama 2 minggu, mengukur suhu badan. Penelitian menunjukkan bahwa dalam 2 minggu gejala ringan dapat sembuh. Jika gejala berat maka Anda harus di rawat di rumah sakit rujukan.
Beberapa jenis obat yang diteliti untuk mengatasi COVID-19 adalah remdesivir, lopinavir-ritonavir dan favipiravir. Diantara obat- obatan tersebut, remdesivir dinilai paling efektif mengatasi COVID-19.
Pengobatan Presisi
Pengobatan presisi, yaitu perawatan yang dirancang khusus bagi setiap individu, hadir untuk menjawab permasalahan ini.
The National Institutes of Health Precision Medicine Initiative (NIH PMI), sebuah lembaga riset mengenai pengobatan presisi, mendefinisikan pengobatan presisi sebagai pendekatan yang muncul dalam pengobatan dan pencegahan penyakit dengan memperhitungkan variabilitas individu dalam gen, lingkungan, dan gaya hidup untuk setiap orang.
Pendekatan ini memungkinkan dokter dan peneliti untuk dapat memprediksi secara lebih akurat strategi pengobatan serta pencegahan penyakit tertentu.
Pengobatan presisi menjadi sebuah konsep yang mampu menjawab limitasi Comparative Effectiveness Research(CER) yang sampai saat ini masih digunakan sebagai petunjuk untuk membantu pasien, dokter, dan pembuat kebijakan dalam membuat keputusan pengobatan yang tepat.
CER, studi yang dilakukan dengan membandingkan manfaat dan kerugian dari masing-masing alternatif pengobatan, pada akhirnya memang akan memberikan informasi mengenai jenis pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan kondisi dan situasi tertentu.
Namun, anggapan bahwa CER hanyalah bentuk lain dari clinical trial research berbasis populasi yang tidak selalu mewakili populasi objek intervensi, menjadi limitasi bagi studi pengobatan ini.
Hal tersebut karena partisipan yang ada, tidak mencakup pasien dengan ko-morbiditas dan pasien yang mengonsumsi lebih dari satu obat. Sebagai gantinya, pengobatan dengan pendekatan pengobatan presisi menjadi alternatif yang dapat digunakan.
Pengobatan presisi melibatkan informasi mengenai gaya hidup, kesehatan jiwa, faktor biologis, serta faktor lingkungan yang dimiliki oleh pasien. Informasi-informasi ini kemudian digunakan untuk mengembangkan rencana pengobatan yang sesuai.
Namun, sampai saat ini informasi genetika masih dianggap sebagai unsur paling penting dalam pengobatan presisi.
Teknologi Next-Generation Sequencing (NSG)
Keberadaan sistem yang menawarkan jasa manajemen data dan analisis sekuens DNA dengan teknologi Next-Generation Sequencing (NGS) selanjutnya dianggap menjadi sebuah terobosan yang mempermudah proses pengobatan presisi. Peran teknologi NGS dalam pengobatan presisi misalnya dapat dilihat pada kasus pengobatan kanker.
Obat yang gagal menginduksi regresi penyakit maupun obat yang terbukti tidak mampu memperpanjang harapan hidup mayoritas pasien kanker seringkali ditinggalkan, meskipun obat-obat tersebut bekerja pada sebagian kecil pasien.
Hal ini menunjukkan bahwa variabilitas terhadap respon pengobatan terutama pada tahap awal uji klinis yang ditunjukkan oleh pasien kanker, telah menjadi permasalahan umum dalam bidang studi onkologi.
Teknologi NGS dengan kemampuan identifikasi variasi genetik dalam penentuan tipe kanker, lebih jauh dapat membantu memberikan petunjuk mengenai target terapeutik dan biomarker pada pengobatan kanker yang presisi bagi masing-masing pasien.
Oleh karenanya, pengobatan presisi dengan teknologi NGS saat ini telah memberi harapan besar bagi para penderita penyakit dengan komposisi genetik heterogen dan kompleks, seperti yang dimiliki oleh para penderita kanker, diabetes, serta skizofrenia.
Pengobatan presisi, selain memiliki potensi dalam meningkatkan efektivitas dan mutu pengobatan, tentu juga memiliki beberapa tantangan.
Pembuatan database yang efisien untuk penyimpanan data pasien, biaya yang besar, perlunya peningkatan kompetensi praktisi kesehatan dalam bidang genetika molekuler dan biokimia, informed consent yang semakin ketat, serta diperlukannya pembakuan pengumpulan data dari klinik dan rumah sakit merupakan beberapa tantangan yang harus dihadapi seiring dengan upaya pengadopsian konsep pengobatan ini.
Kesimpulan
Mengingat bahwa pengobatan presisi dengan teknologi NGS sejatinya memberi masa depan yang menjanjikan bagi peningkatan mutu pengobatan di Indonesia, diharapkan masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama dalam upaya menciptakan sistem pengobatan presisi yang terjangkau bagi semua kalangan.
Editor: Ghugus Santri