Satusuaraexpress.co | TANGERANG SELATAN – Sekitar 100 mahasiswa berkumpul di Selasar Merah gedung FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Senin sore, 30 September 2025, untuk menggelar mimbar bebas dan aksi bakar lilin bertajuk “September Hitam”.
Aksi yang berlangsung mulai pukul 16.50 hingga 18.10 WIB ini diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa (Dema) FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai refleksi tahunan atas berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia.
Acara yang dipimpin oleh penanggung jawab kegiatan, Dzaky Surya, ini menampilkan atribut berupa lilin dan spanduk yang tegas, salah satunya bertuliskan “September Hitam ‘Menolak Lupa, Menggugat Penguasa'” dan “Sampai kapan September Akan Selalu Hitam.”
Ingatkan Kembali Tragedi Masa Lalu

Inti dari kegiatan ini adalah untuk mengingat kembali serangkaian tragedi kelam dalam sejarah Indonesia yang oleh mahasiswa disebut sebagai “September Hitam”. Pamflet yang dibawa peserta secara spesifik mencantumkan:
- Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998)
- Kerusuhan Mei 1998
- Tragedi Trisakti dan Semanggi (1998-1999)
- Kasus Pembunuhan Munir (2004)
- Peristiwa Wasior dan Wamena (Papua, 2001-2003)
- Kasus Marsinah (1993)
- Tragedi Kanjuruhan (Oktober 2022)
Dalam mimbar bebas, Faris dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa “September Hitam bukan sekedar nama, namun September Hitam untuk kita merefleksikan dan mengingat apa yang terjadi di negara kita ini.” Ia menekankan bahwa kegiatan ini sudah menjadi agenda tahunan di FISIP UIN Jakarta.
Kecaman Keras dan Tuntutan Keadilan

Aksi ini ditutup dengan pernyataan sikap resmi yang dibacakan oleh Ahmad Hafizh, selaku Plt. Ketua Dema FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dema FISIP UIN Jakarta menyampaikan duka mendalam dan penghormatan setinggi-tingginya kepada para korban pelanggaran HAM.
Mereka juga secara keras mengutuk praktik impunitas yang dinilai dibiarkan berlarut-larut oleh negara, menjadikan pelaku pelanggaran hukum “seolah-olah kebal hukum.”
“Kami mengecam Pemimpin yang memilih bungkam, abai dan menutup mata soal kebenaran, sementara jutaan rakyat mengharap keadilan,” tegas Ahmad Hafizh.
Lebih lanjut, Dema menolak segala upaya untuk “kebungkaman, pelupaan, dan pengaburan sejarah,” karena hal tersebut hanya akan melanggengkan kekuasaan di atas penderitaan korban.
“Kami menegaskan September Hitam bukan milik mahasiswa, aktivis tapi juga milik seluruh rakyat Indonesia yang menolak ditindas diatas kebenaran. September Hitam adalah langkah awal menuju keadilan yang sejati,” tutup pernyataan sikap tersebut.
Sebagai penutup, kegiatan refleksi HAM ini juga diwarnai dengan teatrikal yang menggambarkan beberapa pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk tentang kasus penculikan mahasiswa yang terjadi pada peristiwa 1998. Kegiatan ini sepenuhnya didanai oleh Dema FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.













