Surat Pemakzulan Wakil Presiden Sampai di Meja DPR RI, Ini Kata Pakar Tata Negara

Screenshot 20250604 083856 Instagram 1486196957
Presiden RI, Prabowo Subianto (kiri) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Satusuaraexpress.co | Jakarta – Surat resmi permintaan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini telah sampai di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Surat yang dikirimkan dengan nomor 003/FPPTNI/V/2025 dan tertanggal 26 Mei 2025 itu berisi seruan kepada DPR dan MPR RI untuk memproses pemakzulan Gibran Rakabuming Raka. FPPTNI menyebut langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional demi menjaga marwah demokrasi dan etika bernegara.

Dalam dokumen setebal beberapa halaman itu, Forum menyebutkan sejumlah dasar hukum sebagai rujukan, termasuk UUD 1945 Pasal 7A dan 7B, TAP MPR RI No. XI/1998, serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mereka juga menyinggung pelanggaran terhadap UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Baca juga : Tuntut Keadilan, Masyarakat Pecinta Keadilan Demo di Depan Mapolres Metro Jakbar

Salah satu sorotan utama adalah keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memungkinkan Gibran maju sebagai cawapres melalui perubahan syarat usia. Keputusan itu diputuskan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran. Anwar kemudian diberhentikan dari jabatan ketua MK karena terbukti melanggar kode etik.

“Bahwa oleh karena Ketua Majelis MK Anwar Usman dinyatakan bersalah melanggar kode etik dan perilaku hakim, maka putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan cacat hukum dan dapat dibatalkan,” tutur pernyataan dalam surat tersebut.

Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menyebut bahwa syarat hukum untuk memakzulkan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka sejatinya telah terpenuhi jika merujuk pada ketentuan konstitusi.

Baca juga : Bupati Raja Ampat Klaim Masyarakat Pulau Gag Tolak Pertambangan Nikel Ditutup

“Ada tiga alasan pemakzulan berdasarkan pasal 7 khususnya dari pasal 7A-7B UUD 1945, yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administratif, dan perbuatan tercela,” katanya, Kamis (19/6/2025).

Ia menjelaskan, pelanggaran pidana dapat dilihat dari laporan Ubedilah Badrun terkait dugaan keterlibatan Gibran dalam kasus korupsi.

Sementara pelanggaran administratif, lanjutnya, bisa muncul dari persoalan keabsahan ijazah atau proses verifikasi administratif lainnya.

Baca juga : 1.233 ASN di Kabupaten Lebong Terdeteksi Manipulasi Absensi Elektronik

“Perbuatan tercela? Banyak sekali. Ada Fufufafa, nepotisme,” tegas sosok yang akrab disapa Uceng tersebut.

Uceng menilai bahwa secara konstruksi hukum, pemakzulan terhadap Gibran bisa dilakukan. Namun hambatan utama justru berada di ranah politik.

Ia menjelaskan bahwa untuk memulai pemakzulan, DPR harus melewati sejumlah tahapan, termasuk hak menyatakan pendapat yang memerlukan kuorum dan dukungan mayoritas.

“Kalau pendukung Prabowo-Gibran masih bersatu padu kuat maka hitungannya tidak akan mencapai menuju kepada hak menyampaikan pendapat, itu kalau kita melihat secara koalisi pemerintahan,” jelasnya.

Baca juga : PPATK Sebut Transaksi Judol Wilayah Jakarta Alami Kenaikan dari Peringkat Lima Menjadi Peringkat Dua

Uceng menambahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) dianggapnya juga sebagai salah satu hambatan besar dalam proses pemakzulan putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi itu.

“Mohon maaf saya tidak bisa menganggap MK ini makhluk hukum. Menurut saya MK ini adalah makhluk politik,” sindirnya.

Jikapun MK menyetujui pemakzulan, DPR kemudian harus mengundang DPD untuk menggelar Sidang MPR. “MPR itu lebih dari 700 orang dengan konstelasi politik yang berbeda-beda,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *