Berita  

Ternyata Riuh Soal Aturan Tapera Sudah Terjadi Sejak Masa Presiden SBY

IMG 9212

Jakarta, Satusuaraexpress.co – Baru-baru ini masyarakat sedang ramai membicarakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pro dan kontra pun mewarnai kebijakan tersebut.

Namun tahukah bahwa persoalan aturan Tapera sudah ramai digibahkan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya Boediono?

Berikut ulasannya

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya Boediono, perdebatan antara pemerintah dan parlemen berkutat pada salah satu pasal.

Adapun, pasal tersebut mengenai adanya perdebatan terkait dengan besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta.

Mengutip artikel Warta Fiskal yang dirilis oleh Kementerian Keuangan pada 2016, Menteri Keuangan kala itu, Chatib Basri menilai pemerintah pemerintah bertindak cukup hati-hati dalam melihat dampak program tersebut terhadap beban fiskal di masa depan yang dijalankan pemerintah Presiden Joko Widodo.

Dia menambahkan, Kemenkeu sependapat dengan argumen RUU Tapera harus diikuti dengan adanya program pemerintah untuk membuat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki akses terhadap perumahan.

“Tetapi skemanya harus ‘win-win’, MBR memperoleh akses rumah yang tidak memberatkan, di sisi lain tidak menimbulkan risiko fiskal yang tinggi dalam jangka panjang,” kata Chatib Basri dikutip dari artikel Warta Fiskal edisi V 2016.

Chatib Basri menuturkan, pada saat itu ada beberapa opsi kontribusi iuran yang menjadi kewajiban perusahaan atau pemberi kerja dan tenaga kerja.

Setelah Kemenkeu menghitung beban fiskalnya, terdapat jebakan ruang fiskal dalam jangka panjang karena iuran dari pekerja dan pemberi kerja terlampau kecil.

“Bila RUU ini diloloskan menjadi UU, maka akan sangat memberatkan pemeritahan Joko Widodo, yang memiliki banyak program prioratas yang sudah dijanjikan kepada Masyarakat,” jelasnya.

Untuk itu, dalam rapat kerja dengan DPR, Menkeu Chatib Basri secara tegas
mengatakan agar pemerintah dan DPR jangan buru-buru mengesahkan
RUU Tapera menjandi UU.

Sebaiknya dilakukan kajian lagi yang lebih mendalam dan melakukan konsolidasi
dengan program yang sama di BPJS.

Akhirnya, Paripurna DPR batal menyetujui RUU Tapera menjadi UU. Pasalnya, adanya penolakan pemerintah terhadap satu pasal terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta.

“Alasan dari pemerintah, karena adanya perdebatan pada satu pasal, yaitu terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta, jadi Hanya satu pasal,”ungkap Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi.

RUU ini terdiri atas 12 Bab dan 78 pasal dan sudah diproses selama dua tahun. Tim Panja menyesalkan sikap pemerintah yang telah menarik diri atas pembahasan RUU Tapera.

Dalam RUU ini, rencananya ada ketentuan soal aturan para pekerja swasta maupun PNS bakal dikenakan potongan dana kepesertaan pegawai (potongan gaji) untuk Tapera sebesar 3% dari penghasilan setiap bulan.

Pungutan sebesar 3% Tapera tersebut terbagi atas 0,5% kontribusi pemberi kerja dan 2,5% kontribusi pekerja (swasta/PNS) sehingga total pungutan 3%.

Bagi masyarakat yang sudah punya rumah, mereka tetap dipungut iuran sebagai tabungan. Dana yang sudah dikumpulkan bisa diambil saat pensiun atau diwasiatkan saat meninggal. Hal ini juga berlaku bagi pekerja formal yang sedang mencicil Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

“Kami menyatakan kekecewaan dan penyesalan atas penarikan tersebut. Sebab ketika ditarik, tim panja telah menyiapkan draf untuk ditandatangani,” tandasnya.

Dalam perjalannya, RUU Tapera akhirnya disahkan menjadi Undang-undang pada oleh Presiden Jokowi pada 24 Maret 2016.

Empat tahun berselang, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Aturan itu kembali diubah dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 25/2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Dalam pasal 7 dijelaskan bahwa pengerahan dana Tapera tak hanya dikumpulkan dari para ASN, TNI, Polri hingga pegawai BUMN saja, melainkan akan turut serta dipungut dari pekerja swasta serta pekerja lain.

“Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi: calon Pegawai Negeri Sipil; pegawai Aparatur Sipil Negara; prajurit Tentara Nasional Indonesia; prajurit siswa Tentara Nasional Indonesia; anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; pejabat negara; pekerja/buruh badan usaha milik negara/daerah; pekerja/buruh badan usaha milik desa; pekerja/buruh badan usaha milik swasta; dan pekerja yang tidak termasuk pekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i yang menerima gaji atau upah,” demikian bunyi beleid tersebut.

Sementara itu, pada pasal 15 ayat 1 dijelaskan bahwa besaran iuran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta. Perinciannya, untuk peserta pekerja iurannya akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5%, sedangkan pekerja akan menanggung beban iuran sebesar 2,5% dari gaji.

Adapun, besaran iuran simpanan peserta bagi pekerja mandiri akan sepenuhnya ditanggung sendiri yakni sebesar 3%.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *