Berita  

Seorang Santri di Makassar Meninggal Dunia Akibat Dianiaya Senior, Pemicu Karena Tersinggung

Screenshot 20240222 114650 Chrome

Makassar, Satusuaraexpress.co – Penganiayaan kembali terjadi di Pondok Pesantren di Kota Makassar. Seorang santri berinisial AR (14) meninggal dunia diduga dianiaya oleh seniornya.

Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Makassar, Komisaris Devi Sujana mengatakan, korban meninggal dunia setelah menjalani operasi di Rumah Sakit (RS) Grestelina, Makassar.

“Korban inisial AR, dia tidak sadarkan diri dan juga menjalani perawatan insentif di RS Grestelina Makassar. Dan pada Selasa sekira pukul 01:00 wita korban dinyatakan meninggal dunia,” kata Devi, kemarin, Rabu 21 Februari 2024.

Terduga pelaku berinisial AW (15) telah diamankan di rumahnya pada Selasa (20/2) sekira pukul 02.30 WIB.

Menurut Devi, hasil pemeriksaan diketahui pelaku merupakan senior di ponpes tersebut. Diduga tindakan penganiayaan tersebut dilakukan AW di perpustakaan ponpes tersebut.

“Menurut keterangan pelapor selaku kakak korban, pelaku datang langsung melakukan penganiayaan secara berulang kali mengenai bagian kepala, muka dan leher dekat telinga mengakibatkan tidak sadarkan diri,” beber Devi.

Adapun dari hasil interogasi, pelaku AW mengakui dan membenarkan telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap korban AR dengan cara melakukan pemukulan.

“Pengakuannya dia memukul korban pada bagian kepala dekat telinga korban yang itu mengakibatkan korban tidak sadarkan diri. Lalu korban menjalani perawatan insentif di RS Grestelina Makassar, dan meninggal dunia,” ujar dia.

Menurut Devi, sejauh ini pihaknya telah memeriksa sebanyak lima orang saksi, termasuk pembina maupun pengajar di pondok pesantren itu.

“Saksi yang ada di sana lima orang sudah kita periksa, termasuk pembina, pengajar,” ujar Devi.

Pegangan sementara yang dikantongi pihaknya, kata Devi, kasus penganiayaan baru terjadi satu kali di pondok pesantren tersebut.

“Menurut keterangan saksi-saksi ini terjadi baru sekarang antara pelaku dengan korbannya sendiri,” beber dia.

Devi mengungkap, motif penganiayaan senior terhadap junior di salah satu pesantren di Makassar karena ketersinggungan.

“Pelaku merasa tersinggung, korban saat itu mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan, di mana pelaku sedang ada di situ,” kata Devi

Devi mengungkapkan, pelaku yang sempat menanyakan maksud korban mengetuk-ngetuk kaca merasa tersinggung, kemudian melakukan penganiayaan.

“Ditanya kenapa kamu ketuk-ketuk? Korban hanya senyum lalu dipukul. Melakukan penganiayaan, seperti menyikut, kemudian dengan lutut, dan memukul di belakang telinga,” beber dia.

Devi mengatakan kejadiannya pada 15 Februari lalu sekitar pukul 10.00 Wita pagi. Dimana antara pelaku dan korban sama-sama di bawah umur. Pelaku berumur 15 tahun, kelas 3 SMP, sementara korban sendiri kelas 2 SMP, umur 14 tahun.

“Jadi adik kelasnya. Beda satu tingkat,” kata Devi.

Dia juga mengatakan, berdasarkan keterangan dari dokter yang didapatkan, korban mengalami luka pecah di bagian belakang kepala.

“Dari keterangan dokter ada luka pecah di bagian belakang kepala. Itu mungkin diperkirakan rusak di otak kecil yang menyebabkan gagal napas,” tutur Devi.

 

Sementara itu, pihak Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II di Jalan Inspeksi Kanal Tamangapa Utara, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, memilih bungkam terkait kematian salah seorang santrinya usai dianiaya seniornya sendiri.

Menindaklanjuti kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan ini, Rakyat Sulsel mencoba mendatangi Pondok Pesantren tempat kejadian untuk konfirmasi. Namun pihak pesantren enggan memberikan komentar, bahkan beberapa awak media yang hadir diminta untuk berada di luar pagar.

“Tabe, di luar maki dulu di. Ini arahan dari dalam. Masih sementara katanya rapat pimpinan ponpes di dalam,” ujar salah seorang penjaga di pondok pesantren tersebut.

Adapun pantauan di lokasi, aktivitas pondok pesantren yang berdiri di samping kanan itu nampak seperti hari-hari biasanya. Beberapa santri terlihat lalu lalang di halaman depan pondokan, beberapa di antaranya juga terlihat masuk ke dalam masjid untuk mengulang-ulang hafalan. Sebagian di antaranya juga sedang asyik bermain bola dan yang lainnya terlihat santai beristirahat.

Kepala Bidang Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, Meisy Papayungan mengatakan kekerasan di dunia pendidikan acap kali berawal dari perilaku perundungan yang tidak terlihat di permukaan lingkungan sosial baik di sekolah ataupun pesantren.

Menurut dia, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pendidikan untuk memasifkan dan telaten melakukan pengawasan konflik di lingkungan sosial sekolah ataupun pesantren agar dunia pendidikan tidak diwarnai dengan kasus kekerasan.

“Kalau ada penganiayaan sampai meninggal itu biasanya bukan kejadian pertama, itu bisa jadi merupakan akumulasi dari rentetan pembullyan dan perundungan,” kata Meisy.

Menurut dia, proses penyelesaian konflik pada dunia pendidikan dengan cara penyelesaian ke dalam atau diselesaikan secara internal. Namun, yang menjadi tantangan adalah cara memastikan masalah tersebut dapat benar-benar selesai agar tidak terjadi dan tidak menelan korban jiwa.

“Kalau ada yang bermasalahkan harus segera dimediasi. Meskipun korban bullying atau penganiayaan itu belum terima, namun pihak penyelenggara pendidikan juga meminta untuk berdamai,” ujar Meisy.

Namun, kata dia, untuk pengawasan masif terhadap perundungan sejatinya ditangani oleh tim khusus di masing-masing penyelenggara pendidikan. Hal itu bertujuan untuk antisipasi dan penanganan masalah yang kerap terjadi pada dunia pendidikan terutama pada pondok pesantren.

Untuk kasus kekerasan pada dunia pendidikan, ujar Meisy, tentu harus juga diamati dengan baik pada lingkungan sosial pelaku dan korban. Menurut dia, semua aktivitas yang berkaitan dengan kekerasan itu harus dicermati, seperti kejadian tersebut merupakan kejadian berulang, atau baru pertama kali dilakukan oleh pelaku, pun dengan korban.

Hal tersebut juga bisa menjadi rujukan terhadap tindak lanjut penentuan langkah yang bakal ditempuh pihak penegak hukum dan pihak keluarga. “Kalau dalam pandangan hukum itu bisa dilakukan restorative justice atau diversi atau langkah lainnya,” imbuh Meisy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *