Sebanyak 1.296 Sekolah Menjadi Klaster Covid, Disebut Bermula dari Orang Dewasa dan Abai Prokes

1616558004
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar tatap muka di SDN 006 Batam Center, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (23/3/2021). Pemerintah Kota Batam mengeluarkan izin belajar tatap muka di 122 Sekolah Dasar (SD) dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat seperti kapasitas ruangan hanya diisi 50 persen dan jam belajar yang dibatasi selama dua jam. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/Lmo/aww.

Satusuaraexpress.co – Sebanyak 1.296 sekolah menjadi klaster Covid-19 di saat pembelajaran tatap muka (PTM) diduga akibat penularan dari orang dewasa dan pengabaian terhadap protokol kesehatan (prokes).

“Berbasis data epidemiologi global, penularan antar anak itu kecil. Kecuali usia SMA. Jadi cari itu dari unsur-unsur orang dewasa yang ada di sekolah,” kata Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman dalam keterangannya, Kamis (23/9).

Orang dewasa yang dimaksud bisa jadi guru, staf, penjaga sekolah, orang tua siswa yang hendak menjemput, bahkan masyarakat umum di sekitar sekolah. Sementara, masih banyak orang dewasa yang belum mendapatkan vaksin Covid-19.

Anak yang terkena virus itu lantas menularkan ke anak yang lainnya saat PTM di sekolah yang bukan tak mungkin ada pengabaian terhadap prokes.

“Riset yang di Eropa itu karena ada pengabaian dari protokol atau maskernya dicopot. Atau makan di luar atau belum divaksinasi atau tidak enak badan tapi masuk. Banyak sekali,” kata dia.

Wakil Sekjen PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir memprediksi klaster itu disebabkan oleh faktor di luar sekolah.

“Bisa jadi orang tua mengajak siswa keluar. Kita kan enggak ngerti, terjadinya di sekolah atau gimana?” kata Dudung.

Dudung mengatakan pelaksanaan PTM itu seharusnya didukung tak hanya oleh syarat vaksin atau cek suhu, melainkan juga tes swab berkala.

“Kalau PCR enggak mampu, minimal antigen. Ada tes secara kepada masal guru-guru, dan ini akan menunjukkan bahwa tracing itu kita ketahuan,” kata dia.

Pandangan pakar itu terbukti dalam kasus di SD Panggang I di Gunungkidul, DIY. Lantaran temuan 5 siswa terkonfirmasi positif Covid-19, uji coba PTM di sekolah tersebut dihentikan di hari keempat, 17 September.

Camat Panggang, Winarno, menuturkan kasus ini bermula ketika orang tua salah seorang siswa kelas V dinyatakan positif 10 hari lalu.

“Anak dari orang tua tersebut setelah di-tracing juga positif. Anak itu kelas V,” kata dia, Kamis (23/9).

Siswa terkonfirmasi Covid-19 itu telah mengikuti uji coba PTM bersama murid lainnya. Ia diperiksa di hari yang sama bersama dengan para guru dan teman-teman sekelasnya yang masuk dalam daftar kontak erat.

Hasil tes antigen oleh petugas Puskesmas Panggang I mengungkap total 5 anak terkonfirmasi Covid-19. “Itu termasuk yang anak orangtua yang positif Corona tadi,” sambungnya.

Penelusuran kontak turut menyasar para siswa kelas VI yang juga melaksanakan uji coba PTM. Namun, hasil pemeriksaan antigen masih belum keluar sampai hari ini.

“Mereka yang positif, isolasi mandiri masing-masing tapi dalam pengawasan tenaga puskemas,” ucap Winarno.

Sebelumnya, Kemendikbudristek mencatat 2,8 persen atau 1.296 sekolah melaporkan klaster Covid-19 selama PTM terbatas.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta sekolah berhati-hati dalam menyelenggarakan PTM.

“Sudah saya perintahkan untuk dimonitor secara ketat. Jangan sampai di Jawa Barat banyak kasus, ada klaster-klaster baru setelah diizinkannya tatap muka,” ucap pria yang akrab disapa Emil itu, di Gedung DPRD Jabar, Kota Bandung, Kamis (23/9).

Menurut Emil, jumlah klaster yang ditemukan persentasenya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah sekolah yang dibuka di Jabar yang mencapai belasan hingga puluhan ribu.

“Tapi kalau enggak dibuka PTM, jumlah sekolah kan banyak sekali. Kita sudah tidak buka 1,5 tahun mudharat-nya juga banyak sekali. Nah jadi kita situasional,” ujarnya.

Sementara itu, Anggora Komisi X DPR dari fraksi PKS Ledia Hanifah Amaliah meminta pemerintah mempercepat vaksinasi kepada siswa buntut kemunculan klaster PTM.

“Kan kalau guru wajib divaksin, tapi anak-anak enggak,” kata dia, Kamis (23/9). “Vaksinasi siswa tetap harus dipercepat. Terus sosialisasi dan kontrol terhadap PTM. Bukan cuma administrasi,” tambahnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *