Dirut PLN Sebut, Jika Tarif Listrik Naik Bisa Sehatkan Perusahaan

ilustrasi teknisi pln
Ilustrasi: teknisi PLN (sumber: indonesia.go.id)

Satusuaraexpress.co – Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini blak-blakan menyebut salah satu cara untuk memperbaiki keuangan perusahaan adalah dengan menaikkan tarif listrik.

Ia menyebut sejak 1 Januari 2017 tarif listrik PLN tidak naik, sementara biaya produksi terus naik. Bahkan, Zulkifli tersebut menyebut perusahaan besar pasak dari tiang alias besar biaya penyediaan daripada tarif yang dibebankan kepada masyarakat.

“Kalau Bapak/Ibu tanya bagaimana caranya agar PLN lebih baik? Tarifnya ya harus naik, sehingga antara tarif dengan biaya deltanya sedikit besar,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (1/9).

Kendati begitu, ia mengakui tidak mungkin menaikkan tarif listrik saat ini karena pandemi covid-19. Ia mengaku buka-bukaan karena sering dicecar soal kinerja PLN yang membukukan utang hampir Rp500 triliun.

Menurut dia, PLN mesti berutang ke pihak ketiga atau perbankan karena beban yang diberikan kepada perusahaan setrum negara tersebut terlalu besar. Ia memberi contoh dengan Penanaman Modal Negara (PMN) tahun ini sebesar Rp5 triliun, pihaknya harus berinvestasi atau menganggarkan belanja modal senilai Rp75 triliun-Rp78 triliun.

“Saya ingin sharing, kami investasi Rp75 triliun Bapak/Ibu berikan PMN Rp5 triliun, selisihnya kan Rp70 triliun. Dengan segala hormat, kami harus selalu pinjam dari luar, dari bank, dll,” paparnya.

Sebagai mantan bankir, Zulkifli mengakui rasio utang terhadap pendapatan (debt per EBITDA ratio) PLN sudah berat. Kendati rajin menerima PMN, namun ia menyebut kompensasi yang diterima pihaknya tidak seberapa dibandingkan dengan beban pelat merah tersebut.

“Kami datang selalu seolah-olah minta subsidi, kompensasi, tapi kenyataannya memang tarif listriknya lebih rendah dari biaya penyediaannya,” jelasnya.

Selain terbebani biaya batubara, minyak, dan gas yang naik, ia juga menyebut PLN dibebankan oleh kontrak pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP) dan gas yang melebihi kebutuhan (oversupply).

Dalam kontrak, PLN tetap harus membayar listrik dan gas yang tidak terpakai. Sementara itu, perencanaan RUPTL di masa lalu asumsi pasokan (demand) sebesar 7 persen-8 persen, sedangkan realisasinya hanya 4,5 persen saja.

“Kami juga oversupply gas karena PLN kontrak sampai 10 tahun ke depan jumlah gas melebihi kebutuhan dan kami manajemen saat ini harus handle ini,” tutup dia. (*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *