WHO : Infeksi Virus Corona bisa Memicu Penyakit Berkepanjangan pada Sebagian Pasien yang dinyatakan Sembuh. 

IMG 20210606 WA0001

Satusuaraexpress.co – Babak akhir dari pandemi COVID-19 hingga kini masih belum dapat diprediksi. Kurva kenaikkan angka positif masih terus terjadi.
Sampai hari ini 4 Juni 2021 pagi.WIB, setidaknya 172.916.721 masyarakat global terinfeksi virus corona SARS-CoV-2, dan sebanyak 3.717.497 orang meninggal akibat terinfeksi.

Bagaimana dengan angka kesembuhannya? Kabar baiknya angka kesembuhan cukup tinggi, lebih dari 155.645.850 orang pulih dari ancaman COVID-19. Namun mereka yang berhasil pulih kemungkinan masih dapat dihantui oleh efek jangka panjang COVID-19, alias long COVID-19.

Beberapa negara telah melaporkan persentase pasien yang mengalami  long COVID-19. Angka penderitanya mulai 70 persen hingga 50 persen.
Fenomena Pasca Terinfeksi COVID-19 , Syndrom Long COVID-19 adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang telah sembuh dari COVID-19, tetapi masih mempunyai efek samping infeksi yang bertahan lama dalam tubuh.

Syndrom Long COVID-19 juga dikenal sebagai Sindrom COVID Kronis ( chronic COVID syndrome – CCS) atau dan COVID jangka panjang ( long-haul COVID ) adalah kondisi yang ditandai dengan gejala-gejala yang muncul / dialami oleh pasien  COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh berdasarkan hasil swab RT PCR negatif.

Laporan WHO tentang Efek Jangka Panjang COVID-19 yang dipublikasikan pada 9 September 2020 menyebutkan bahwa infeksi virus corona (SARS-CoV-2) bisa memicu penyakit yang berkepanjangan pada sebagian pasien yang sudah dinyatakan sembuh.

WHO menemukan banyak pasien COVID-19 yang sudah sembuh tidak memiliki kondisi kesehatan sebaik ketika sebelum terinfeksi virus corona.

Data WHO menunjukkan, hasil survei melalui telepon mendapati fakta ada 35 persen pasien COVID-19 yang dinyatakan sudah sembuh tak mengalami pemulihan kesehatan seperti semula pada 2-3 minggu setelah mereka dinyatakan negatif.

Survei yang sama menemukan 20 persen pasien COVID-19 dengan usia 18-34 tahun mengalami sejumlah gejala yang berkepanjangan meskipun sudah dinyatakan negatif dan kondisi kesehatannya masih prima.

Bahkan, WHO menyatakan gejala Long COVID-19 tersebut dapat muncul pada pasien dewasa maupun anak-anak yang tidak mengalami sakit berat ketika masih positif COVID-19.
Jadi, kasus Long COVID juga dialami mereka yang hanya mengalami gejala sedang atau ringan ketika berstatus positif COVID-19.

Dalam laporan WHO itu, juga disebutkan bahwa gejala sakit yang berkepanjangan dalam kondisi Long COVID-19 bisa bertahan selama beberapa pekan, hingga berbulan-bulan.
Namun, pasien yang mengalami Long COVID-19 itu terbukti tidak menularkan virus corona ke orang lain.
Mengutip laman Center for Disease Control and Prevention ( CDC ) Amerika Serikat, berikut beberapa tanda long COVID-19.

Gejala jangka panjang yang paling sering dilaporkan antaranya:

1. Kelelahan (fatigue)
2. sesak napas (shortness of breath)
3. batuk (cough)
4. nyeri sendi (join pain)
5. nyeri dada (chest pain)

Gejala jangka panjang lain yang dilaporkan di antaranya:

1. kesulitan dalam berpikir dan konsentrasi ( brain fog atau kabut otak)
2. Depresi (depression)
3. nyeri otot (muscle pain)
4. sakit kepala (headache)
5. Demam (intermitten fever)
6. jantung berdebar kencang (fast-beating/pounding heart – heart palpitations)

Komplikasi jangka panjang yang lebih serius, yang memengaruhi sistem organ lain yang ada di dalam tubuh di antaranya masalah- masalah:

1. Kardiovaskular :  radang otot jantung (inflammation of the heart muscle)
2. Pernapasan : kelainan fungsi paru (lung function abnormalities)
3. Ginjal : cedera ginjal akut (acute kidney injury)
4. Dermatologis : ruam dan rambut rontok (rash, hair loss)
5. Neurologis : menurunnya fungsi indera penciuman dan perasa, masalah tidur, kesulitan konsentrasi, dan gangguan memori ( smell and taste problems, sleep issues, difficulty with concentration, memory problems)
6. Psikologis : depresi, kecemasan, perubahan suasana hati (depression, anxiety, ……).

Dalam British Medical Journal, Paul Garner , penyitas corona sekaligus profesor penyakit menular di Liverpool School of Tropical Medicine, menggambarkan long COVID-19 dengan singkat , yaitu “menakutkan dan lama.” Sebagian besar penyintas long COVID-19 yang mengalami kelelahan yang ekstrem. Dampak long COVID-19 ini benar- benar melemahkan kehidupan mereka. Bahkan berjalan kaki dalam waktu yang singkat sudah meletihkan bagi mereka.

Selain kelelahan yang berkepanjangan, masih ada beragam keluhan lainnya yang terus melekat pada tubuh. Misalnya sesak nafas selama berbulan- bulan, nyeri sendi dan otot, batuk yang tak kunjung sembuh, sakit kepala, hingga hilangnya indra penciuman. Dampak long COVID-19 juga bisa berimbas pada kondisi psikis seseorang, mengalami kecemasan, kesulitan untuk berfikir jernih, bahkan depresi.

Studi yang dipublikasikan Journal of the American Medical Association melaporkan dari 143 pasien corona yang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit di Roma , sekitar 87 persen masih memiliki setidaknya satu gejala selama hampir dua bulan, setengahnya masih mengalami kelelahan.

Menurut Dr.dr Agus Dwi Susanto SoP(K), kondisi long COVID bisa dialami oleh pasien corona yang sudah sembuh karena adanya proses yang menimbulkan kelainan menetap secara anatomik yang mempengaruhi fungsi organ tubuh.

Sebagai contoh kerap ditemukan adanya fibrosis di paru- paru pasien, yakni adanya kekakuan pada jaringan paru- paru yang bersifat menetap hingga 2-3 bulan. Fibrosis ini menyebabkan oksigen tidak bisa masuk ke paru- paru, sehingga pasien mengeluhkan  napasnya berat, napasnya sesak ” kata dr.Agus. Pada tes uji fungsi paru terjadi penurunan fungsi paru hingga 20-30 persen. Agus juga mengatakan bahwa long COVID-19 bisa muncul pada eks pasien COVID-19 secara umum. Namun mereka yang mempunyai penyakit comorbid seperti penyakit jantung atau penyakit paru kronik, mempunyai risiko lebih tinggi mengalami long COVID-19.

Menurut Dr dr. Isman Firdaus,SpJP(K), kekurangan suplai oksigen pada darah (hipoksia) yang dialami pasien COVID-19 karena ada peradangan di paru-paru berpotensi memicu cedera pada jantung.
Hipoksia, juga dapat membuat pembuluh darah mengisut atau menyempit, terutama di paru-paru, sehingga terjadi penurunan fungsi jantung bagian kanan.

Sementara berdasarkan laporan Badan Pengendalian Penyakit Pemerintah Amerika Serikat (CDC), beberapa gejala sudah diketahui, namun pemahaman lebih lanjut mengenai long COVID-19 masih dibutuhkan dan akan terus melanjutkan penelitian.

Di Indonesia sebuah riset yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Persahabatan dengan mensurvei 463 orang pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021 menemukan cukup banyak pasien virus corona yang mengalami long COVID. “Hasil awal penelitian  kami menunjukkan bahwa sebanyak 63,5 persen dari seluruh populasi yang disurvei ternyata memiliki gejala yang menetap atau long COVID,” kata dr. Agus Dwi Susanto,Sp.P sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Penyakit COVID -19 adalah penyakit sistemik, dengan multiorgan sequele .
Diperlukan pengobatan sepenuhnya terdiri dari :
antiviral, antibiotics (jika dibutuhkan), anticoagulant, control terhadap comorbidities , pemberian nutritsi , pemberian obat simptomatik
Hanya sedikit yang bersifat serius, berat dan perlu hospitalisasi
Perlu dilakukan evaluasi 1 bulan dan 3 bulan pasca Covid akut

Jangan tunda berobat saat pertama kali ada gejala COVID-19, Pasien harus tetap semangat selama proses pemulihan,

Cara mencegah Long COVID adalah mencegah Penyakit COVID-19
Kenakan masker, jaga jarak, cuci tangan, menghindari kerumunan dan menghindari berada di tempat dengan ventilasi buruk.
Laksanakan vaksinasi untuk memutus mata rantai penularan Covid-19

Jakarta, 5 Juni 2021
Dr. Mulyadi Tedjapranata, DTM&H, MTh.FIAS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *