Ulama dan Rakyat Banten Masa Penjajahan; Petani, Laskar dan Pemberontakan

IMG 20210414 143218

Serang, Satusuaraexpress.co – Periodisasi sejarah Islam di wilayah Banten pada masa kolonialisasi Hindia Belanda hingga masa revolusi pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dipenuhi dengan kisah heroisme perlawanan, pemberontakan terhadap penindasan penjajahan.

Perlawanan-perlawanan terhadap kaum penjajah di Banten selalu memunculkan nama-nama pemimpin agama, seperti pada peristiwa pemberontakan petani Banten pada 1888 atau yang dikenal sebagai peristiwa Geger Cilegon dan yang kedua yang tak kalah hebat adalah penyerbuan markas gabungan Netherland Indies Civil Administration (NICA) dan Inggris di Serpong, Tangerang Selatan.

Dalam bukunya ‘Pemberontakan Petani Banten 1888’, Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo mengungkapkan pemberontakan besar petani Banten pada 1888 sebagai bentuk perlawanan warga Banten atas kekuasaan zalim Hindia Belanda.

Pemberontakan dilakukan pasca lima tahun letusan besar Gunung Krakatau pada 1883 yang meluluhlantakan pesisir Banten dan menewaskan lebih dari 30 ribu rakyat Banten. Selain rakyat Banten menderita akibat bencana alam, Banten juga sedang dihinggapi wabah penyakit. Maka kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membebankan pajak tinggi dan beberapa kebijakan yang kurang diterima rakyat akhirnya menjadi pemicu peristiwa pemberontakan 9 Juli 1888.

Pemberontakan itu dianggap sebagai titik balik sejarah perjuangan mengusir penjajah dari tanah Banten.

Di antara pejuang pada pemberontakan petani Banten antara lain Haji Wasid, Haji Abdul Karim, Haji Akib, dan Ki Tubagus Ismail. Menurut Sartono, meskipun mereka pejuang yang namanya tidak begitu terkenal mereka adalah tokoh sejarah asal Banten yang mengorbankan jiwa demi tegaknya martabat rakyat terjajah waktu itu.

Setengah abad lebih berlalu kisah Haji Wasid dan pejuang lain berlalu. Heroisme yang digerakkan oleh tokoh agama kembali muncul di tanah jawara. Tepatnya 26 Mei 1946 di Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan.

kala itu Indonesia sudah merdeka sejak Agustus 1945. Tapi, daerah Serpong masih diduduki oleh tentara NICA (Nederlands Indies Civil Administration) yang membonceng pasukan Inggris, yang membawa misi menyisir keberadaan sisa-sisa pasukan Jepang yang kalah di Perang Dunia II.

Sejarawan dan budayawan Tangerang, TB Sos Renda menyebut, keberadaan pasukan NICA dan Inggris yang bermarkas di kantor perusahaan perkebunan Belanda yang kemudian menjadi PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) di Cilenggang, dikeluhkan oleh masyarakat.

“Pasukan NICA yang didalamnya ada pasukan Ghurka (pasukan Inggris asal India), sering usil terhadap warga. Mereka sering juga goda-godain perawan desa,” kata TB Sos Renda saat menceritakan awal mula kisah Pahlawan Seribu Serpong, Selasa (24/6/2019).

Tidak terima diperlakukan seperti itu, masyarakat sekitar markas NICA akhirnya mengadu kepada tokoh bernama HM Yusuf. Dia menjabat sebagai lurah kala itu. Singkat cerita, pergilah HM Yusuf ke Banten wilayah barat, kemudian ia berhasil meminta tolong kepada Kyai Haji (KH) Ibrahim, seorang ulama masyhur di wilayah Lebak, yang kemudian bersama ratusan pasukannya melakukan longmarch menyusur jalur kereta hingga sampai di Serpong.

Versi lain menyebut, serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, pada 23 Mei 1946, pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong.

Versi itu juga menjelaskan, pasukan berkekuatan 400 orang di bawah pimpinan KH Ibrahim, sesampainya di Tenjo, bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.

Pada 25 Mei 1946, kedua pasukan tersebut dengan hanya menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat di sebelah barat Serpong.

Di sepanjang perjalanan dalam misi mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan dan mengusir pasukan NICA di Serpong, jumlah pasukan terus bertambah di antaranya dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim, dan pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi, dan E. Mohammad Mansyur.

Sampai di Kademangan, Serpong, 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, 26 Mei 1946, mereka melancarkan serangan.

Laskar rakyat Banten di bawah pimpinam KH Ibrahim dengan hanya menggunakan senjata tajam dan teriakan takbir, membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi di tempat-tempat yang strategis.

Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandangkan takbir. Di lain pihak, pasukan Belanda gencar menembak dengan senapan-senapan mesin dari tempat-tempat strategis, seperti di atas bukit di sekitar jalur penyerangan laskar Banten.

Alhasil, korban berjatuhan di pihak laskar. Suara takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. Sekitar 200 laskar Banten gugur, termasuk KH Ibrahim dan Jaro Tiking.

Pendiri media Islam progresif, Islam Bergerak, dan pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho dalam diskusi bertajuk ‘100 Tahun Sartono Kartodirdjo; Petani, Agama Dan Imperialisme Kapital’ yang mendiskusikan buku sejarah perlawanan petani dan ulama Banten mengatakan, dahulu gerakan agamawan memang mesti membawa ke ranah politik pembabasan.

“Dulu gerakan rakyat dan gerakan keagamaan bisa menjadi satu kesatuan, posisi pesantren ulama dan tarekat dahulu menjadi inkubasi gerakan politik,” kata Roy seperti dikutip dari akun Youtube Komunitas Bambu.

Roy menegaskan, agama itu boleh terlibat dalam politik. Namun, politik yang dimaksud merupakan gerakan politik pembebasan bukan politik kebencian apalagi politik rasialisme.

Dalam acara yang sama, Sejarawan JJ Rizal mengatakan, latar belakang perlawanan petani dipimpin oleh ulama di Banten memiliki latar historis penderitaan kaum kecil yang berlangsung terus menerus dalam periode waktu yang berdekatan dan sistematis.

“Wabah jadi salah satu akar pemberontakan petani terbesar hingga kini. Selain wabah, ada bencana meletusnya gunung Krakatau kalau kita membaca buku sejarah Pak Sartono. Pemberontakan ini bukan hanya ditentukan oleh seorang pemimpin agama kharismatik tapi juga tekanan-tekanan seperti pembebanan pajak kepada rakyat,” kata Rizal.

Selain itu pemberontakan jika melihat rentang waktunya, peristiwa ini terjadi tak jauh dari luka rakyat akibat kebijakan tanam paksa. (mi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *