Satusuaraexpress.co – Baru baru ini Tindakan Polresta Surakarta yang menangkap warga berinisial AW mendapat sorotan, lantaran dinilai menghina Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka melalui akun Instagram, yang dianggap berlebihan oleh ICJR.
Warga asal Slawi, Jawa Tengah, itu ditangkap polisi virtual pada Senin, 15 Maret 2021. Melalui akun Instagram pribadinya, @arkham_87, AM menulis komentar di unggahan akun @gardarevolution terkait permintaan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora bisa digelar di Solo.
“Tahu apa dia tentang sepak bola. Tahunya dikasih jabatan saja,” tulis AM pada Sabtu, 13 Maret 2021.
Dikutip dari idntimes.com, Kapolresta Kota Solo Kombes (Pol) Ade Safitri Simanjuntak mengatakan, AM tidak ditangkap. Ia dipanggil ke kantor kepolisian hanya untuk klarifikasi unggahannya itu.
Polisi, kata Ade, menangkap AM lantaran ia tidak juga menghapus komentarnya. Padahal, polisi virtual sudah sempat mengirimkan pesan melalui direct message ke akun Instagramnya.
Kini, AM sudah dilepas usai menyatakan permintaan maaf. Pernyataan itu lalu diunggah Polresta Surakarta ke akun Instagram resmi mereka.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A Napitupulu menilai apa yang dilakukan kepolisian justru mencerminkan kemunduran dari pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, soal kebebasan berpendapat dan berdemokrasi.
Bahkan, ICJR juga menilai pasal di Undang‑Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diterapkan dalam kasus AM juga tidak berdasar. Mengapa?
1. Kasus AM baru bisa diproses bila ada aduan dari korban penghinaan
Menurut Erasmus, polisi keliru bila memproses kasus AM dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan. Sebab, pasal tersebut tidak bisa dilepaskan dari norma hukum yang termuat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Pasal 27 ayat (3) ini merupakan delik aduan absolut, maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang merasa menjadi korban penghinaan secara langsung. Laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain korban,” ujar Erasmus.
Dalam perkara AM, pihak yang merasa dirugikan adalah Gibran yang notabene adalah putra sulung Presiden Jokowi. Namun, hingga saat ini tidak ada informasi terkait pelaporan yang dilakukan Gibran.Selain itu, Erasmus juga melihat akar masalah lainnya terletak pada pemahaman aparat penegak hukum dalam konteks penerapan UU ITE.
2. ICJR menilai tidak ada ujaran kebencian dari komentar AM di media sosial
Di sisi lain, ICJR, sama sekali tidak menemukan adanya maksud ujaran kebencian yang dilakukan AM di media sosial. Komentar yang ditulis AM di Instagram ditujukan kepada Gibran sebagai individu, bukan golongan tertentu. Maka, kata Erasmus, polisi juga tidak bisa menggunakan Pasal 28 ayat 2 di UU ITE.
“Bahkan, dalam pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 ayat (1) KUHP di Mahkamah Konstitusi, jelas mengingatkan agar penggunaan pasal pidana untuk mengkriminalisasi kritik oleh aparat hukum harus dihindari,” tutur dia.
“Bila UU ITE Pasal 28 ayat (2) digunakan oleh kepolisian, maka semakin menunjukkan implementasinya eksesif dan malah mengancam kebebasan berpendapat,” sambung Erasmus.
3. Keberadaan polisi virtual semakin menakut-nakuti warga untuk berpendapat
ICJR juga mengkritik penggunaan istilah restorative justice (RJ) oleh kepolisian. RJ ditujukan untuk memulihkan pelaku, korban, dan masyarakat. Mereka juga mempertanyakan kepada kepolisian siapa yang jadi korban dari penghinaan yang disebut polisi telah dilakukan warga Slawi tersebut. Apalagi, Gibran tidak melaporkan ujaran tersebut.
“Keberadaan polisi virtual yang difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara yang berekspresi di media sosial jelas semakin menimbulkan iklim ketakutan,” ujar Erasmus.
Hal tersebut, kata dia, jelas semakin menambah buruk kualitas demokrasi di Tanah Air. Alih-alih digunakan untuk menebar ketakutan warga, sebaiknya polisi virtual dioptimalkan menangani beragam kejahatan siber.
“Kejahatan siber seperti penipuan online saat ini juga sedang menjadi sorotan masyarakat,” ungkap Erasmus. (*)