AASI: Asuransi Syariah Butuh Lembaga Penjamin Pemegang Polis

IMG 20210317 WA0019

Jakarta, Satusuaraexpress.co – Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyatakan mendukung penuh keberadaan lembaga penjamin pemegang polis di Indonesia.

Secara kelembagaan, Direktur Eksekutif AASI Erwin Noekman mengungkapkan AASI sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengar-pendapat baik dengan Kementerian Keuangan yang diwakili Badan Kebijakan Fiskal (BKF), ataupun dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya dengan Industri Keuangan Non Bank Syariah terkait kebutuhan Lembaga Penjamin Polis di Indonesia.

AASI selalu melakukan komunikasi dengan pihak terkait baik secara tertulis maupun dengan diskusi langsung, karena bisa jadi ada kemungkinan perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional dari segi operasional atau mekanisme.

“Oleh karena itu, AASI juga membuka ruang diskusi antara pemerintah dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan fatwa terkait keberadaan lembaga penjamin polis ini di industri asuransi syariah,” ujarnya, Rabu (17/10).

Dalam komunikasi tersebut, perhatian AASI diantaranya tertuju kepada saran iuran yang nantinya akan dikutip, karena dari segi pencatatan terdapat beberapa perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional, dan mesti dipastikan terlebih dahulu yang dijamin itu apakah pemegang polis atau perusahaannya.

“Karena dalam mekanismenya, kontribusi di asuransi syariah dibagi dua yaitu milik perusahaan dan milik peserta yang disebut dengan dana tabarru, dan ini perlu diluruskan dulu saran iurannya diambil dari yang mana,” tambah dia.

Selain itu, lanjut Erwin, yang juga menjadi perhatian AASI adalah bagaimana dana kumpulan yang ada di lembaga nanti. Apakah akan bercampur antara dana dari asuransi syariah dan konvensional atau akan dipisah. Karena walau bagaimanapun, di industri asuransi syariah dana itu akan terpakai untuk memberikan manfaat bagi pemegang polis.

Erwin menegaskan, AASI selalu mendukung untuk konsep iuran tersebut, selama penggunaannya itu tepat, berapapun yang diputuskan, namun tentunya diatur secara adil antara asuransi syariah dan asuransi konvensional, karena pengenaan kutipannya itu perlu dipertegas.

“Kalau jaminannya itu dari perusahaan, maka dananya tersebut diambil dari perusahaan. Kalau yang dijamin itu adalah pemegang polis, maka kutipan dananya diambil dari pemegang polis,” imbuhnya.

Hanya saja, menurut Erwin, yang perlu ditekankan adalah jangan sampai semua kutipan penjaminan itu dibebankan utuh dari nilai kontribusi, karena dalam asuransi syariah dibedakan antara dana perusahaan dan dana peserta.” jadi, kutipannya mestinya dari salah satu saja,” katanya.

Untuk besaran iuran, diskusi AASI belum sampai ke sana. Namun, harapannya ada telaah lebih jauh terkait jaminan-jaminan ini, mengingat memang tidak semua risiko dapat dijamin oleh lembaga ini nantinya.

Lebih lanjut, Erwin menjelaskan nantinya akan ada kantong tersendiri antara asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Biar bagaimanapun, dilihat dari karakter bisnis dan karakter risiko dari dua jenis asuransi syariah tersebut memang terdapat perbedaan. Seperti untuk asuransi jwa syariah, AASI mengusulkan untuk hanya menjamin risiko murni perlindungan atau proteksinya saja, tidak termasuk investasinya.

Pada kesempatan itu, Erwin menyampaikan dalam mekanismenya, asuransi syariah sebenarnya sudah ada jaminan pemengang polis tersendiri, yaitu oleh perusahaan asuransi syariah itu sendiri. Di mana jika dana tabarru dari peserta kurang untuk penerima manfaat atau klaim, maka perusahaan hadir dan berkomitmen untuk memberikan talangan.

Mekanisme seperti itu untuk menghindari kasus gagal bayar di industri asuransi syariah. Jika nantinya sudah ada lembaga penjamin polis ini, berarti pemegang polis asuransi syariah memiliki double cover bahkan lebih, untuk jaminan polisnya, selain juga ada cover dari reasuransi syariah. Dan ini menjadi nilai tambah bagi asuransi syariah.

Di samping untuk menjalankan Undang-Undang wajib dilakukan, tentunya keberadaan lembaga penjamin polis ini akan menambah brand yang baik untuk industri asuransi syariah.

Keberadaan lembaga ini akan membuat peserta asuransi syariah menjadi merasa lebih nyaman dengan polisnya, walaupun sejauh ini belum ada kasus-kasus di industri asuransi syariah, seperti gagal bayar dan sebagainya.

Namun, dengan adanya jaminan ini tentu akan membuat masyarakat akan lebih nyaman dengan asuransi syariah. Ditambah lagi untuk jaminan penerimaan manfaat tersebut juga ada mekanisme reasuransi syariah.

”Bagi kami di industri asuransi syariah, keberadaan lembaga penjaminan ini merupakan bentuk ikhtiar kita dalam memitigasi risiko. Sama halnya seseorang memiliki polis asuransi syariah, tidak ada yang berharap untuk menerima manfaat atau klaim. Bahkan kalau bisa kita yang memberikan manfaat antar sesama peserta. Artinya sebagaimana prinsip syariah, jika memang iuran jaminan ini tidak terpakai maka dapat dikembalikan lagi,” tandas Erwin. (ad)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *