Bedah Buku Mantan Sekda, Anies Baswedan: Buku Bang Ipul Pelajaran Hidup dari Generasi ke Generasi

IMG 20210218 142758
Bedah Buku Bang Ipul, Simpul Betawi dari Gubernur ke Gubernur (Foto: Dok. Gerbang Jakarta)

Satusuaraexpress.co – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut apa yang disampaikan dalam buku Simpul Betawi dari Gubernur ke Gubernur, karya Dr. H. Saefullah M.Pd menjadi hikmah lintas zaman dan pelajaran hidup dari generasi ke generasi.

“Perjalanan hidup beliau mengandung banyak sekali hikmah dan perjalanan karirnya tercatat dalam tinta emas,” tegas Gubernur Anies.

Pidato sambutan tunda Gubernur itu direkam secara khusus oleh beliau dan ditayangkan secara live ke seluruh pengunjung acara Bedah Buku, Simpul Betawi dari Gubernur ke Gubernur, karya Dr. H. Saefullah M.Pd.

Bang Ipul, sapaan akrab Dr. H. Saefullah M.Pd adalah mantan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta yang wafat pada 16 september 2020 setelah dirawat beberapa hari di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Acara bedah buku ini diselenggarakan secara virtual oleh Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pada Rabu (17/2/2021) sore hingga jelang Maghrib. Sebelumnya, Ketua Umum LKB Beky Mardani dan anak (menantu) almarhum Bang Ipul, Mulawarman Hanase turut memberikan sambutan.

Sejatinya, buku setebal lebih dari 400 halaman itu berisi testimoni lebih dari 100 orang yang dianggap dekat dengan Saefullah – keluarga, kerabat, kolega, dan sahabat – itu sudah selesai dicetak pada pertengahan Desember 2020 lalu, bersamaan dengan peringatan 100 hari wafatnya Bang Ipul yang juga diselenggarakan secara virtual.

“Namun untuk acara bedah bukunya, kami sengaja menunggu momentum yang lebih pas, yakni hari kelahiran beliau yang jatuh pada 11 Februari,” ungkap Beky Mardani, pencetus ide sekaligus penanggung jawab pembuatan buku.

Mantan Sekda Saefullah adalah anak Betawi asal Kampung Rorotan yang mencatat “rekor” tersendiri, karena selama menjabat Sekda melayani 5 orang gubernur dalam kurun waktu 6 tahun (2014-2020), mulai Joko Widodo, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Djarot Saiful Hidayat, Soni Sumarsono, hingga Anies Rasyid Baswedan.

Pembicara pertama Prof. Dr. Agus Suradika, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta yang pernah menjabat Deputi Gubernur DKI Jakarta menyoroti kemampuan (skill) Bang Ipul yang sangat penting dalam kedudukannya sebagai pejabat publik. Yakni kemampuan menjaga “ritme emosional”.

“Dia begitu tenang dan enggak pernah marah, marahnya adalah diam. Bang Ipul juga pandai menggunakan diksi yang dapat mendinginkan suasana. Orang yang lagi panas jadi enggak bisa marah,” sebut Agus.

Bang Ipul, bilang Agus Suradika, tahu kapan saatnya marah dan bagamana caranya marah. Dipadukan dengan kemampuan mendengarnya yang sangat baik, Bang Ipul menjadi pengambil keputusan yang nyaris sempurna.

Sedangkan politisi Gerindra Muhammad Taufik yang bertahun-tahun bersahabat dengan Bang Ipul, mengaku kagum pada kemampuan lobi Saefullah yang begitu luwes di tengah arogansi dunia politik.

“Kemampuan lobinya luar biasa. Dengan modal guyonan, ketenangan, dan pendekatan personal, hampir semua beban dan target pekerjaan yang dibebankan Gubernur kepada beliau dapat diselesaikan dengan baik,” ujar Taufik.

Persoalan berat seperti perbedaan pandangan soal angka-angka di APBD misalnya, bisa selesai begitu saja seusai Bang Ipul mengajak taufik sarapan atau makan bakso.

“Kita kayak ngobrol aja, tahu-tahu masalah selesai tanpa ada hard feeling,” sebut Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu.

Sementara KH. Zulfa Mustofa menguliti aktivitas Bang Ipul sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta. Ketika di era Gubernur Ahok, hubungan Pemprov dan umat Islam tegang dan mencekam, Bang Ipul berinisatif mengadakan pengajian rutin di rumah dinas Sekda. Kegiatan itu sedikit banyak mengurangi tensi antara umat dan umara.

“Mestinya, ulama, umat, dan umara kan memang bekerja sama,” papar Kyai Zulfa. Dia melihat visi Bang Ipul yang luar biasa, sehingga dapat mendinginkan tensi yang sedang panas.

“Sehingga saya meyakini, Pak Saefullah sebenarnya bukan hanya simpul Betawi dari Gubernur ke Gubernur, tapi juga simpul Betawi di NU. Beliau meneruskan kiprah orang-orang hebat Betawi di NU,” tambah Kyai Zulfa.

Terakhir, sejarawan JJ Rizal bahkan menyebut Bang Ipul sebagai pendobrak stigma orang Betawi tidak dapat bersaing di kancah politik nasional.

Fakta bahwa Bang Ipul menjadi Sekda di ibu kota negara (notabene butuh persetujuan presiden) menunjukkan posisi Bang Ipul saat itu. Dia dapat memenangkan kompromi politik kelompok di luar Betawi.

“Apalagi dia berasal dari Rorotan, bukan Menteng atau kawasan elite lainnya di Jakarta,” sebut JJ Rizal.

“Munculnya anak dari Kampung Rorotan ini mematahkan pemikiran Lance Castles yang memotret etnik di Jakarta pada 1960-an. Castles menganggap orang Betawi tidak memiliki keterwakilan dalam elite, mereka hanya kumpulan massa yang terjebak pada kemiskinan struktural. “Bang Ipul mematahkan itu,” tutup JJ Rizal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *