Satusuaraexpress.co – Babak akhir dari pandemi COVID-19 hingga kini masih belum dapat diprediksi. Kurva kenaikkan angka positif masih terus terjadi. Sampai hari ini 8 Februari 2021, setidaknya 106.671.498 masyarakat global terinfeksi virus corona SARS-CoV-2, dan sebanyak 2.326.725 orang meninggal akibat terinfeksi.
Bagaimana dengan angka kesembuhannya? Kabar baiknya angka kesembuhan cukup tinggi, lebih dari 78.508.427 orang pulih dari ancaman COVID-19. Namun mereka yang berhasil pulih kemungkinan masih dapat dihantui oleh efek jangka panjang COVID-19, alias long COVID-19.
Beberapa negara telah melaporkan persentase pasien yang mengalami long COVID-19. Angka penderitanya mulai 70 oersen hingga 50 persen. Di Indonesia, belum ada yang menginformasikan data ini. Tetapi bisa dipastikan _long COVID-19_ yang dialami pasiennya tergantung dari komplikasi penyakitnya.
Fenomena Pasca Terinfeksi COVID-19 , Syndrom Long COVID-19 adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang telah sembuh dari COVID-19, tetapi masih mempunyai efek samping infeksi yang bertahan lama dalam tubuh.
Syndrom Long COVID-19 juga dikenal sebagai Sindrom COVID Kronis ( chronic COVID syndrome – CCS) atau dan COVID jangka panjang ( long-haul COVID) adalah kondisi yang ditandai dengan gejala-gejala yang muncul/dialami oleh pasien COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh berdasarkan hasil swab negatif.
Laporan WHO tentang Efek Jangka Panjang COVID-19 yang dipublikasikan pada 9 September 2020 menyebutkan bahwa infeksi virus corona (SARS-CoV-2) bisa memicu penyakit yang berkepanjangan pada sebagian pasien yang sudah dinyatakan sembuh.
WHO menemukan banyak pasien COVID-19 yang sudah sembuh tidak memiliki kondisi kesehatan sebaik ketika sebelum terinfeksi virus corona.
Data WHO menunjukkan, hasil survei melalui telepon mendapati fakta ada 35 persen pasien COVID-19 yang dinyatakan sudah sembuh tak mengalami pemulihan kesehatan seperti semula pada 2-3 minggu setelah mereka dinyatakan negatif.
Survei yang sama menemukan 20 persen pasien COVID-19 dengan usia 18-34 tahun mengalami sejumlah gejala yang berkepanjangan meskipun sudah dinyatakan negatif dan kondisi kesehatannya masih prima.
Bahkan, WHO menyatakan gejala Long COVID-19 tersebut dapat muncul pada pasien dewasa maupun anak-anak yang tidak mengalami sakit berat ketika masih positif COVID-19.
Jadi, kasus Long COVID juga dialami mereka yang hanya mengalami gejala sedang atau ringan ketika berstatus positif COVID-19.
Dalam laporan WHO itu, juga disebutkan bahwa gejala sakit yang berkepanjangan dalam kondisi Long COVID-19 bisa bertahan selama beberapa pekan, hingga berbulan-bulan.
Namun, pasien yang mengalami Long COVID-19 itu terbukti tidak menularkan virus corona ke orang lain.
Mengutip laman Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, berikut beberapa tanda long COVID-19.
Gejala jangka panjang yang paling sering dilaporkan antaranya:
1. Kelelahan (fatigue)
2. sesak napas (shortness of breath)
3. batuk (cough)
4. nyeri sendi (join pain)
5. nyeri dada (chest pain)
Gejala jangka panjang lain yang dilaporkan di antaranya:
1. kesulitan dalam berpikir dan konsentrasi ( _brain fog_ atau kabut otak)
2. Depresi (depression)
3. nyeri otot (muscle pain)
4. sakit kepala (headache)
5. Demam (intermitten fever)
6. jantung berdebar kencang (fast-beating/pounding heart – heart palpitations)
Komplikasi jangka panjang yang lebih serius, yang memengaruhi sistem organ lain yang ada di dalam tubuh di antaranya masalah- masalah:
1.kardiovaskular : radang otot jantung (inflammation of the heart muscle)
2.pernapasan : kelainan fungsi paru (lung function abnormalities)
3.ginjal: cedera ginjal akut (acute kidney injury)
4.dermatologis : ruam dan rambut rontok (rash, hair loss)
5.neurologis : menurunnya fungsi indera penciuman dan perasa, masalah tidur, kesulitan konsentrasi, dan gangguan memori ( smell and taste problems, sleep issues, difficulty with concentration, memory problems)
6.psikologis : depresi, kecemasan, perubahan suasana hati (depression, anxiety, ……).
Dalam _British Medical Journal_ , Paul Garner , penyitas corona sekaligus profesor penyakit menular di Liverpool School of Tropical Medicine, menggambarkan long COVID-19 dengan singkat , yaitu “menakutkan dan lama.” Sebagian besar penyitas _long COVID-19_ yang mengalami kelelahan yang ekstrem. Dampak _long COVID-19_ ini benar- benar melemahkan kehidupan mereka. Bahkan berjalan kaki dalam waktu yang singkat sudah meletihkan bagi mereka. Selain kelelahan yang berkepanjangan, masih ada beragam keluhan lainnya yang terus melekat pada tubuh. Misalnya sesak nafas selama berbulan- bulan, nyeri sendi dan otot, batuk yang tak kunjung sembuh, sakit kepala, hingga hilangnya indra penciuman. Dampak _long COVID-19_ juga bisa berimbas pada kondisi psikis seseorang, mengalami kecemasan, kesulitan untuk berfikir jernih, bahkan depresi.
Studi yang dipublikasikan _Journal of the American Medical Association_ melaporkan dari 143 pasien corona yang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit di Roma , sekitar 87 persen masih memiliki setidaknya satu gejala selama hampir dua bulan, setengahnya masih mengalami kelelahan.
Menurut Dr.dr Agus Dwi Susanto SoP(K), kondisi _long COVID_ bisa dialami oleh pasien corona yang sudah sembuh karena adanya proses yang menimbulkan kelainan menetap secara anatomik yang mempengaruhi fungsi organ tubuh.
Sebagai contoh kerap ditemukan adanya fibrosis di paru- paru pasien, yakni adanya kekakuan pada jaringan paru- paru yang bersifat menetap hingga 2-3 bulan. Fibrosis ini menyebabkan oksigen tidak bisa masuk ke paru- paru, sehingga pasien mengeluhkan napasnya berat, napasnya sesak ” kata dr.Agus. Pada tes uji fungsi paru terjadi penurunan fungsi paru hingga 20-30 persen. Agus juga mengatakan bahwa _long COVID-19_ bisa muncul pada eks pasien COVID-19 secara umum. Namun mereka yang mempunyai penyakit comorbid seperti penyakit jantung atau penyakit paru kronik, mempunyai risiko lebih tinggi mengalami _long COVID-19_.
Menurut Dr dr. Isman Firdaus,SpJP(K), kekurangan suplai oksigen pada darah (hipoksia) yang dialami pasien COVID-19 karena ada peradangan di paru-paru berpotensi memicu cedera pada jantung.
Hipoksia, juga dapat membuat pembuluh darah mengisut atau menyempit, terutama di paru-paru, sehingga terjadi penurunan fungsi jantung bagian kanan.
Sementara berdasarkan laporan Badan Pengendalian Penyakit Pemerintah Amerika Serikat (CDC), beberapa gejala sudah diketahui, namun pemahaman lebih lanjut mengenai _long COVID-19_ masih dibutuhkan dan akan terus melanjutkan penelitian.
Di Indonesia perlu dibentuk tim untuk mengevaluasi seberapa banyak adanya kasus _long COVID-19_ untuk mencegah efek negatif.
Penulis : dr. Mulyadi Tedjapranata